Saturday 19 December 2020

The Joy of Medsos

Barusan aja ada ribut-ribut di linimasa twitter saya soal anak yang marah-marah karena merasa privasinya dalam bermedsos diganggu. Anak ini punya akun twitter, dimana dia merasa itu adalah zona nyamannya. Nggak ada yang salah punya zona nyaman. Beneran deh, siapa yang nggak kepengen punya ruang untuk bebas berekspersi? Dimana kita bisa ngapain aja tanpa khawatir di-judge macem-macem. Mau jungkir balik ya silakan... tapi sayangnya, anak ini salah memilih zona nyamannya. Bukannya pakai buku diary berkunci atau menggunakan alias di twitter, dia malah membuat akun twitter dengan nama asli. Dan yang dia ekspresikan itu bukan sekedar tebakan receh, lelucon bapak2 atau meme yaoming yang aga nyeleneh ... ini nyerempet2 hal yang agak saru. 

Saat ini pembaca blog saya sih masih terbatas, tapi kalau nanti ada anak < 18 tahun yang baca, tolong tanyain baik-baik ke ortu/guru ya hal-hal saru itu kayak apa, dan jangan diikuti oke? Nah lanjut ... 

Ternyata ada yang screenshot twit2nya dan mengirim ke ibunya. Anak perempuan ini ngamuk-ngamuk sama si tukang ngadu. Dia mempost tangkapan layar chat dari ibunya dan ... tadinya saya mengira dia bakal post voice not ibunya yang nyanyi heavy metal kayak Aggretsuko kalau marahnya udah seubun-ubun ... 


Atau minimal ibunya ngirim video kode kayak ini *glek*. Ibunya 'cuma' minta anak itu cepat pulang sebelum ayahnya tahu, karena ibunya mau bicara, ibunya juga menanyakan apa uang yang diberikan ayah & ibunya selama ini kurang. Haduh ... kerasa banget ibunya sedih, kecewa & bingung melihat anaknya yang seperti orang lain di twitter. 

Anak ini jadi trending karena warganet yang komentar dibagi menjadi 2 kubu : 
1. Menyalahkan si anak yang 'mencari zona bebas berekspresi' tapi yang dieskpresikan itu hal-hal nyeleneh dan menggunakan identitas asli 
2. Membela si anak karena harusnya orangtua memberikan zona privais buat anak-anaknya

Kalau saya pribadi, saya setuju sama nomer 1. Media sosial itu bukan tempat yang tepat buat membongkar semua aib. Kenapa? Karena bisa dilihat semua orang dan jejak digital itu nggak akan hilang. Waktu zaman bbm dulu mulai ada status aja, orang yang tanpa sengaja menyalakan fitur 'now listening' dan kemudian menonton video 'minus-minus' & terupdate di statusnya, bisa kena 'pinalti' berupa discreenshot (dengan screen muncher yang ada bunyi 'kraukk'-nya) terus disebar kemana-mana. 

Apalagi sekarang? Zaman yang makin hari makin membuat saya merasa kayak di novel 1984-nya George Orwell. Diawasi terus oleh pengikut 'Bung Besar'. Dunia sosmed sudah nggak seperti dulu lagi, dimana saya khusus membuat akun twitter supaya bisa follow berita tentang orangutan di orangutan.org atau membuat akun facebook supaya bisa main game Pet Society. Sekarang, Twitter adalah wadah buat baku jempol dan kadang merebet jadi baku hantam di dunia nyata. Begitu juga dengan Facebook. Udah nggak keitung orang yang saya 'mute' karena makin hari statusnya makin bikin gerah. 

Harusnya kita lebih hati-hati. Untuk kasus si mbaknya, kalau dia mau mengunggah status-status saru dengan 'aman', lebih baik pakai akun anonim. Kecuali dia bikin masalah yang mengarah ke pengancaman kemanan orang lain atau bahkan negara... orang nggak akan repot-repot melaporkan ke Cybercrime POLRI kok. Paling cuma dikomentari 'wong edan' lalu dianggap sepi. 

Belajar dari yang dulu-dulu, sejak orang mulai suka persekusi keblunderan orang lain di medsos, seharusnya kita bisa tahu kalau memposting hal-hal nyeleneh dengan identitas asli itu beresiko tinggi. Jangankan hal-hal yang nyeleneh lah ... kita bikin status opini aja kadang bisa dibikin blunder sama orang lain. Apalagi kalau kita punya nama di medsos. Selebgram/twit lah istilahnya. Begitu diblunderkan, langsung jadi trending topic seindonesia raya. Ingat salah satu adegan di The Raid 2 dimana Iko Uwais 'ngumpet' di kamar mandi penjara dan di depan pintu sudah menunggu sekumpulan NAPI berbadan ala pemain Smackdown yang menggedor pintu dengan ganas sambil siap-siap mempermak si Iko jadi orek tempe? Kira-kira begitu rasanya ketika kamu blunder atau diblunderkan oleh orang-orang. 


Saya nggak pernah suka namanya persekusi baik digital atau di dunia nyata. Meskipun maksudnya baik, tapi maksud baiknya nggak tersampaikan karena yang dipersekusi keburu gondok duluan. Misalkan orang lagi nyetir mundur, mau nabrak tiang listrik terus mobilnya digedor-gedor sama puluhan orang terus dimaki-maki karena hampir nabrak tiang listrik, apa 'maksud baik'-nya bakalan nyampe? Yang ada kalau dia nggak semaput di mobil ya dia bakalan panik ngebut nabrakin itu orang-orang. 

Tapi ya ... itulah salah satu 'the joy of medsos' sekarang. Kalau nggak ribut seharii aja kayaknya ada yang kurang. Karena memblokir medsos bisa memancing protes orang-orang seindonesia raya, saat ini yang bisa kita lakukan adalah berhati-hati (banget) dalam bermain medsos.



No comments:

Post a Comment

Ambis

  Just yesterday another hullabaloo happened in twitter (surprise, surprise). This time it was about an infamous stand-up comedian slash inf...