Hari itu sesi jaga malamku di stase forensik lumayan sibuk.
Aku baru saja menyelesaikan visum ketika HP-ku berbunyi. Ada pesan yang masuk
di blackberry messenger, mengatakan ada pemeriksaan luar di ruang post mortem.
Huff ... padahal saat meminta keterangan dari korban pemukulan yang adalah
seorang anak perempuan berusia tiga belas tahun itu, aku sudah cukup memakan
banyak energi. Cerita anak itu agak berbelit-belit dan beberapa kali ia
bungkam. Aku membujuknya berkali-kali, memintanya untuk bercerita dan tidak
usah takut, karena banyak orang yang melindunginya di sini. Akhirnya ia mau
bercerita, kalau pacarnya lah yang memukulinya saat mereka bertengkar.
Miris sekali hatiku mendengarnya ... dia anak perempuan yang masih
berusia13 tahun ... aku ingat betapa insecure-nya aku dulu ketika seusianya.
Apalagi pelakunya berusia 18 tahun, lebih tua, lebih dipercaya oleh gadis itu
... apa yang ada di pikiran laki-laki itu ketika melayangkan tinjunya?
"Kamu itu terlalu sabar, Kay." kata Sandy, salah seorang teman
jagaku. "Apalagi menghadapi kasus semacam itu. Aku sudah hilang sabar
tadi, dikira kerjaan kita hanya dia apa?!"
"Ya namanya juga kasus pemukulan. Apalagi pelakunya pacar sendiri,
wajarlah kalau dia shock dan masih denial ...
selama ini dia sayang sama pacarnya, percaya sama dia ... pasti dia mikir lah,
apa jangan-jangan dia yang salah.", kataku sambil berjalan di sebelah
Sandy.
"What bullshit!!" maki Sandy. "Laki-laki yang
memukul wanita itu bahkan kebagusan kalau dibilang "sampah
masyarakat". By God ya, kalau sampai ada yang berani
kayak gitu ke adikku atau ke orang terdekatku, aku akan membuat mereka
merasakan hell on earth!"
"Ups, sabar, sabar Mas ... kita harus netral, remember? Tidak
boleh memihak. Aku juga marah tadi, aku juga ingin pelakunya dihukum berat.
Tapi itu sudah di luar kapasitas kita. Kita sudah melakukan apa yang kita bisa.
Selebihnya, urusan penyidik ..." kataku.
Sandy menatapku, lalu nyengir. "Kamu memang calon dokter forensik yang
baik."
Aku terbahak. "Amin!"
Kami sampai di ruang post mortem. Desta sedang memeriksa barang-barang si
'pasien' sementara Cathy mencatat deskripsinya. "Nah syukurlah elo
berdua dateng. Kay elo gantiin gue ya, Sandy elo bantu Cathy memeriksa
pasiennya."
"Oke. Sip!"
Aku mengenakan sarung tangan dan mulai memeriksa barang-barang yang ada di
samping si korban. "Meninggalnya kenapa?" tanyaku.
"Gak tau. Ditemukan di jalan. Belum ada keluarga yang bisa
dihubungi." jawab Desta.
"Oh." aku melihat benda-benda yang ada. Sebuah handphone, seplastik
uang dan sebuah buku notes kecil bersampul merah. Aku meraih buku itu, karena
benda itu yang pertama kali menarik perhatianku. Tanganku hendak membuka
halaman pertama buku itu, berharap di dalam buku itu ada nomor telfon keluarga
si korban. Tapi kemudian aku teringat. AKu menoleh ke si korban ... seorang
pria berusia dua puluhan yang tubuhnya kurus, mengenakan kaus hitam bertuliskan
kata makian kasar, jins sobek-sobek dan sandal jepit.
"Bapak, maaf saya lihat bukunya ya. Siapa tahu ada nomer telfon yang bisa
saya hubungi.", ujarku.
"Iya, Mbak'e ... buka aja!" Desta menyahut iseng. Aku nyengir.
Halaman pertama buku itu berisi lirik lagu. 'Jujur Saja' by Wonderboy ...
begitu tulisannya. Ada huruf-huruf yang ditulis dengan huruf kapital, pertanda
itulah bagian yang ditekankan si penulis.
JUJUR SAJA KAU ANGGAP AKU APA?
MENGAPA KAU TAK BERTERUS TERANG?
JUJUR SAJA KU RAGUKAN CINTAMU
KARENA DIRIMU TAK SEPERTI DULU
Di bawah lirik lagu itu ada tulisan : Jujur saja, kau anggap aku apa??
Dheg. Lagi-lagi aku merasa miris. Jika benar si korban (Ia masih dinamakan
Mr.X, karena tidak ditemukan KTP atau tanda pengenal lain) yang menulisnya ...
saat menulis ini ia pasti sedang galau luar biasa karena merasa
terombang-ambing dalam ketidakpastian. Aku membuka halaman berikutnya, mencoba
fokus pada menemukan nomer telfon yang bisa dihubungi, tapi lagi-lagi
perhatianku teralihkan pada sketsa wajah seorang perempuan berambut keriting
panjang seperti ilustrasi novel-novel roman zaman dulu, di bawahnya tertulis
: I love you Kirana ...
Di halaman lain ada catatan kecil. Hari ini ada satu kebahagiaan kecil
yang kamu berikan untukku, yaitu kamu membalas sms-ku. Memang singkat, tapi aku
tidak berharap banyak kok. Aku tahu kamu sibuk. Aku cukup senang kamu mau
membalas sms-ku.
Aku membalik lagi halamannya. Aku akan tetap menunggu kamu, mencintai
kamu ... walau aku tahu kamu tidak perduli sama aku.
Kirana,
satu nama itu selalu terpatri di hatiku
Kirana,
nama yang sempurna, sesempurna keindahanmu
Kirana,
nama yang menjadi pengganti doaku
setiap fajar membuka hari
Kirana,
ditengah malam beku ini,
namamu bagaikan lilin kecil yang hangatkan hatiku
Kirana,
aku percaya suatu saat nanti
kau akan pecaya betapa aku mencintaimu
Kirana,
biarlah kukecap pahit dan hujaman nyeri ini
karena aku yakin, akulah tempatmu pulang
Lalu ada lagi tulisan yang agak cakar ayam, menandakan penulisnya sedang
dilanda emosi. Kamu jahat. Kamu hancurkan hatiku. Aku tulus sayang sama
kamu, melebihi cinta tunangan kamu itu. Tunangan kamu enggak perduli sama kamu.
Dia sering membuat kamu menangis kan? Buka hati kamu, Kirana. Buka sedikit
untuk aku. Kenapa kamu tidak pernah menganggap aku ada? Lihat aku di sini, aku
tulus mencintai kamu.
Kamu bilang kamu sayang aku. Tiga kata itu kamu ucapkan pagi ini ketika aku
tanya bagaimana perasaan kamu ke aku. Dengan gampangnya aku luluh ... ah
Kirana, aku memang selalu lemah kalau menyangkut kamu.
Kirana, malam ini aku sakit lagi. Mungkin besok aku sudah tidak bernyawa.
Aku menulis ini dengan sisa-sisa tenaga terakhir aku. Kirana, Kirana ... kamu
di mana? Aku mau melihat kamu, sekali saja sebelum aku mati. Aku mencintai
kamu, Kirana ....
"Kay! Kok sampe terpesona gitu sih?" Cathy menepuk bahuku, ia
melongok ke buku notes yang masih kubaca. "Ya ampunnn ... lebay
sekali!" komentarnya.
"Bapaknya masih bisa denger kata-kata kamu lho!" ujarku.
"Ups! Maaf ya Pak ..." kata Cathy. "Tapi kamu yang fokus dong
Kay ... kamu kan mau nyari nomer telfon yang bisa dihubungi, remember?"
"Iya, iya ... sori ..." aku membalik-balik halaman buku itu,
mengabaikan tulisan demi tulisan yang melafalkan satu nama : Kirana. Lalu
akhirnya aku menemukan beberapa nomer HP, salah satunya adalah nomer HP Kirana.
Setelah mendeskripsikan barang-barang korban, aku meminta ijin sejenak
menyerahkan buku itu ke petugas administrasi untuk menghubungi nomor telfon
itu.
Pemeriksaan luar selesai, dan kami beristirahat di ruang jaga.
Aku memutuskan untuk tidur sejenak, karena tidak tahu apa yang akan datang
nanti malam. Kupejamkan mata dan berusaha tidur. Aku teringat dua kasus yang
aku hadapi hari ini ... yang satu dikhianati kepercayaannya oleh orang yang ia
cintai, yang satu setengah mati mencintai (atau bisa dikatakan ... terobsesi?)
... tanpa bisa kucegah, imajinasiku melayang membayangkan apa jadinya kalau
hidup mereka berdua adalah sebuah film romantic comedy.
Si gadis bertemu dengan si Mr.X ... mungkin saat ia berlari menghindari kejaran
pacarnya yang mau memukulinya? Mr.X menghajar pacar si gadis dengan maksud
melindungi, kemudian mereka berkenalan, kemudian mereka saling curhat, kemudian
mereka jatuh cinta, kemudian mereka melupakan yang menyia-nyiakan mereka
dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya? Kenapa tidak bisa
seperti itu? Itu ending yang ideal bukan? Menurutku
sih ...
Oh well ...lagi-lagi aku hanya bisa menemukan 'itulah hidup' -
whatever that means - sebagai jawaban atas pertanyaanku. Semua orang
ingin bahagia, ingin mencintai dan dicintai. Tapi dalam hidup, seringkali tidak
bisa sesederhana itu. Haish ... memikirkannya saja sudah pusing. Lebih baik aku
tidur dulu, mudah-mudahan nanti malam jagaku aman.
Aku tidak tahu kapan aku terlelap. Tahu-tahu saja aku merasa ada yang berdiri
di depanku. Aku memicingkan mata, melihat sosok samar-samar yang kemudian
semakin jelas. Seorang pria berambut emo, mengenakan baju hitam bertuliskan
makian, jins sobek-sobek dan sandal jepit, tengah menatapku. Ini kan ...
Mr.X yang tadi!! Seruku dalam hati, tapi tidak ada kata-kata yang
keluar. Ketika wajahnya semakin jelas, aku melihat sudut-sudut bibirnya
terangkat sedikit dan ia mengangguk padaku, sebelum berjalan keluar kamar jaga.
"Kayla ..."
Ada suara laki-laki memanggil namaku. "Kayla? Kayla?" aku merasa ada
yang mengguncang bahuku dan aku bangun gelagapan.
Desta nyengir melihatku. "Sori elo udah tidur yah? Barusan ada panggilan
ke IGD, ada visum."
"Oh? Mmm ... okeh okeh, bentar ..."
Aku meraih HP yang tadi sedang di- charge, memastikan notesku
ada di kantong baju jaga, sebelum mengikuti Desta dan teman-teman lain ke luar
kamar jaga. Sepertinya, masih banyak cerita yang akan aku dengar malam ini ...