Wednesday 20 May 2020

Lovely


 Oke kayanya sudah terlalu lama absen menulis karena satu dan lain hal. Mulai dari mengurus anabul oren yang belakangan ini rewelnya nggak ketulungan dan nggak mau tau kalau aku lagi banyak mengurus revisi kerjaan *menghela napas*. Akhirnya kalau sudah capek, aku memilih buat goleran baca buku kumpulan cerpen atau main ukulele. Yep. Ini dia ukulele baru kesayanganku :



Dari dulu pengen banget bisa punya ukulele ... walau selama ini main gitar juga pas-pasan asal genjreng aja. Kayanya ukulele lebih pas dari segi ukuran walaupun harus ngapalin kunci baru lagi. Hehehe ... lumayanlah sejauh ini latian dengan mainin lagu anak-anak favorit kayak It’s a Small World, The Lion Sleeps Tonight sama Never Smile at a Crocodile :D hehehe ...

Ngomong-ngomong soal ukulele, aku jadi teringat teman bloggingku dulu. Aku sudah beberapa kali pindah blog karena berbagai alasan. Waktu awal-awal ngeblog dulu, aku ketemu temanku ini ... sebut saja dia si Lovely. Lovely ini salah satu perempuan paling keren yang pernah aku temui. She’s beautiful, classy, sassy, smart as hell and kind. Perempuan paling baik yang pernah aku kenal. Lovely suka memanggilku ‘Little Tephie’ karena biarpun badanku lebih bongsor dari dia, tapi aku menganggapnya kakak.

Sama kayak aku, Lovely juga beberapa kali berganti blog. Walau begitu blog pertama & keduanya masih suka kukunjungi sesekali. Terakhir dia update adalah sekitar delapan tahun lalu, tapi entah kenapa tulisan-tulisannya selalu membuatku merasa bahagia. Kayak melihat album foto. Apalagi waktu kami sama-sama menjejak umur awal dua puluhan. Lovely selalu menjadi pusat perhatian dengan keluwesan dan kecantikannya. Dia jauh lebih pemberani dari aku walaupun dia bersikeras, akulah yang jauh lebih berani karena profesiku sebagai dokter magang forensik waktu itu.

Lovely yang secara nggak langsung menginspirasiku untuk memasak kue. Dia suka posting hasil masakannya dan kadang aku mencari resep sendiri di internet lalu cerita ke dia soal hasil eksperimenku. Contohnya, waktu Lovely memasak cupcake dengan krim vanilla yang keliatannya yummy banget... aku nyoba bikin cupcake juga, tapi karena aku nggak begitu suka krim jadi aku buat toping yang rasanya asam-manis biar mengimbangi rasa vanilanya.

Pernah sekali aku nanya resep salah satu masakan Lovely karena aku nggak menemukan resep untuk makanan serupa di internet, tapi dia menolak. Alasannya, dia nanti mau membuat toko kue sendiri jadi beberapa resepnya dia simpan. Lovely sempet minta maaf karena dia merasa nggak enak. Aku bilang nggak apa-apa, aku ngerti. Lovely lalu bilang ada temannya yang marah dan jadi jaga jarak ke dia gara-gara hal ini.

Wajar aja sih ... Lovely itu gadis yang banyak jadi target iri hati orang. Khususnya perempuan. Sampai kadang mereka jadi nyari-nyari kesalahan Lovely buat menjatuhkan image dia. Selama berteman, sudah dua kali aku mendengar cerita soal Lovely yang berantem sama orang gara-gara hal sepele. Nggak cuma hal ‘sekecil’ merahasiakan resep masakan, Lovely nggak ngasih tau nama gebetannya aja sudah bikin seorang cewek jadi ngejelek-jelekin dia dengan kata-kata super jahat di blognya.

Hal lain yang aku ingat dari Lovely adalah waktu dia patah hati. Salah satu patah hati terburuknya. Waktu itu aku merasa gondok bukan main sama orang yang sudah mempermainkan dia. Ingin rasanya ikut melampiaskan marahku ke dia, tapi ... Lovely mencegahku. Lovely bilang - secara nggak langsung - "Teph kalau kamu masih sayang aku sebagai kakak kamu, aku mohon jangan ikut menghukum dia. Dia udah cukup terhukum dengan rasa bersalahnya." Karena itu juga pas orang ini mulai 'ngelunjak' karena merasa dimaafkan, aku yang saat itu dalam keadaan marah hanya bilang : Untung Lovely udah minta ke aku buat diam. Kalau enggak, udah kubikin rame sekalian kelakuan jahatmu ini! Lovely ngajarin aku untuk memaafkan orang yang menyakitkan hati kita. Biarkan karma saja yang bekerja. 

Anyway, Lovely banyak mengajari aku soal hidup di awal dua puluhan waktu itu. Satu hal yang nggak kesampaian sampai sekarang adalah liburan bareng. Moga-moga aja suatu hari nanti bisa. Lovely, dimanapun kamu berada ... aku harap kamu selalu bahagia ya.

Saturday 9 May 2020

Diary Anonim - Cerpen


Hari itu sesi jaga malamku di stase forensik lumayan sibuk. Aku baru saja menyelesaikan visum ketika HP-ku berbunyi. Ada pesan yang masuk di blackberry messenger, mengatakan ada pemeriksaan luar di ruang post mortem. Huff ... padahal saat meminta keterangan dari korban pemukulan yang adalah seorang anak perempuan berusia tiga belas tahun itu, aku sudah cukup memakan banyak energi. Cerita anak itu agak berbelit-belit dan beberapa kali ia bungkam. Aku membujuknya berkali-kali, memintanya untuk bercerita dan tidak usah takut, karena banyak orang yang melindunginya di sini. Akhirnya ia mau bercerita, kalau pacarnya lah yang memukulinya saat mereka bertengkar.

Miris sekali hatiku mendengarnya ... dia anak  perempuan yang masih berusia13 tahun ... aku ingat betapa insecure-nya aku dulu ketika seusianya. Apalagi pelakunya berusia 18 tahun, lebih tua, lebih dipercaya oleh gadis itu ... apa yang ada di pikiran laki-laki itu ketika melayangkan tinjunya?

"Kamu itu terlalu sabar, Kay." kata Sandy, salah seorang teman jagaku. "Apalagi menghadapi kasus semacam itu. Aku sudah hilang sabar tadi, dikira kerjaan kita hanya dia apa?!"

"Ya namanya juga kasus pemukulan. Apalagi pelakunya pacar sendiri, wajarlah kalau dia shock dan masih denial ... selama ini dia sayang sama pacarnya, percaya sama dia ... pasti dia mikir lah, apa jangan-jangan dia yang salah.", kataku sambil berjalan di sebelah Sandy.

"What bullshit!!" maki Sandy. "Laki-laki yang memukul wanita itu bahkan kebagusan kalau dibilang "sampah masyarakat". By God ya, kalau sampai ada yang berani kayak gitu ke adikku atau ke orang terdekatku, aku akan membuat mereka merasakan hell on earth!"

"Ups, sabar, sabar Mas ... kita harus netral, remember? Tidak boleh memihak. Aku juga marah tadi, aku juga ingin pelakunya dihukum berat. Tapi itu sudah di luar kapasitas kita. Kita sudah melakukan apa yang kita bisa. Selebihnya, urusan penyidik ..." kataku.

Sandy menatapku, lalu nyengir. "Kamu memang calon dokter forensik yang baik."

Aku terbahak. "Amin!"

Kami sampai di ruang post mortem. Desta sedang memeriksa barang-barang si 'pasien' sementara Cathy  mencatat deskripsinya. "Nah syukurlah elo berdua dateng. Kay elo gantiin gue ya, Sandy elo bantu Cathy memeriksa pasiennya."

"Oke. Sip!"

Aku mengenakan sarung tangan dan mulai memeriksa barang-barang yang ada di samping si korban. "Meninggalnya kenapa?" tanyaku.

"Gak tau. Ditemukan di jalan. Belum ada keluarga yang bisa dihubungi." jawab Desta.

"Oh." aku melihat benda-benda yang ada. Sebuah handphone, seplastik uang dan sebuah buku notes kecil bersampul merah. Aku meraih buku itu, karena benda itu yang pertama kali menarik perhatianku. Tanganku hendak membuka halaman pertama buku itu, berharap di dalam buku itu ada nomor telfon keluarga si korban. Tapi kemudian aku teringat. AKu menoleh ke si korban ... seorang pria berusia dua puluhan yang tubuhnya kurus, mengenakan kaus hitam bertuliskan kata makian kasar, jins sobek-sobek dan sandal jepit.

"Bapak, maaf saya lihat bukunya ya. Siapa tahu ada nomer telfon yang bisa saya hubungi.", ujarku.

"Iya, Mbak'e ... buka aja!" Desta menyahut iseng. Aku nyengir.

Halaman pertama buku itu berisi lirik lagu. 'Jujur Saja' by Wonderboy ... begitu tulisannya. Ada huruf-huruf yang ditulis dengan huruf kapital, pertanda itulah bagian yang ditekankan si penulis.

JUJUR SAJA KAU ANGGAP AKU APA?
MENGAPA KAU TAK BERTERUS TERANG?
JUJUR SAJA KU RAGUKAN CINTAMU
KARENA DIRIMU TAK SEPERTI DULU

Di bawah lirik lagu itu ada tulisan : Jujur saja, kau anggap aku apa??

Dheg. Lagi-lagi aku merasa miris. Jika benar si korban (Ia masih dinamakan Mr.X, karena tidak ditemukan KTP atau tanda pengenal lain) yang menulisnya ... saat menulis ini ia pasti sedang galau luar biasa karena merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian. Aku membuka halaman berikutnya, mencoba fokus pada menemukan nomer telfon yang bisa dihubungi, tapi lagi-lagi perhatianku teralihkan pada sketsa wajah seorang perempuan berambut keriting panjang seperti ilustrasi novel-novel roman zaman dulu, di bawahnya tertulis : I love you Kirana ... 


Di halaman lain ada catatan kecil. Hari ini ada satu kebahagiaan kecil yang kamu berikan untukku, yaitu kamu membalas sms-ku. Memang singkat, tapi aku tidak berharap banyak kok. Aku tahu kamu sibuk. Aku cukup senang kamu mau membalas sms-ku. 


Aku membalik lagi halamannya. Aku akan tetap menunggu kamu, mencintai kamu ... walau aku tahu kamu tidak perduli sama aku.  


Kirana,
satu nama itu selalu terpatri di hatiku
Kirana,
nama yang sempurna, sesempurna keindahanmu
Kirana,
nama yang menjadi pengganti doaku
setiap fajar membuka hari
Kirana,
ditengah malam beku ini, 
namamu bagaikan lilin kecil yang hangatkan hatiku
Kirana,
aku percaya suatu saat nanti 
kau akan pecaya betapa aku mencintaimu
Kirana,
biarlah kukecap pahit dan hujaman nyeri ini
karena aku yakin, akulah tempatmu pulang


Lalu ada lagi tulisan yang agak cakar ayam, menandakan penulisnya sedang dilanda emosi. Kamu jahat. Kamu hancurkan hatiku. Aku tulus sayang sama kamu, melebihi cinta tunangan kamu itu. Tunangan kamu enggak perduli sama kamu. Dia sering membuat kamu menangis kan? Buka hati kamu, Kirana. Buka sedikit untuk aku. Kenapa kamu tidak pernah menganggap aku ada? Lihat aku di sini, aku tulus mencintai kamu.


Kamu bilang kamu sayang aku. Tiga kata itu kamu ucapkan pagi ini ketika aku tanya bagaimana perasaan kamu ke aku. Dengan gampangnya aku luluh ... ah Kirana, aku memang selalu lemah kalau menyangkut kamu. 


Kirana, malam ini aku sakit lagi. Mungkin besok aku sudah tidak bernyawa. Aku menulis ini dengan sisa-sisa tenaga terakhir aku. Kirana, Kirana ... kamu di mana? Aku mau melihat kamu, sekali saja sebelum aku mati. Aku mencintai kamu, Kirana .... 


"Kay! Kok sampe terpesona gitu sih?" Cathy menepuk bahuku, ia melongok ke buku notes yang masih kubaca. "Ya ampunnn ... lebay sekali!" komentarnya.

"Bapaknya masih bisa denger kata-kata kamu lho!" ujarku.

"Ups! Maaf ya Pak ..." kata Cathy. "Tapi kamu yang fokus dong Kay ... kamu kan mau nyari nomer telfon yang bisa dihubungi, remember?"


"Iya, iya ... sori ..." aku membalik-balik halaman buku itu, mengabaikan tulisan demi tulisan yang melafalkan satu nama : Kirana. Lalu akhirnya aku menemukan beberapa nomer HP, salah satunya adalah nomer HP Kirana. Setelah mendeskripsikan barang-barang korban, aku meminta ijin sejenak menyerahkan buku itu ke petugas administrasi untuk menghubungi nomor telfon itu.

Pemeriksaan luar selesai, dan kami beristirahat di ruang jaga.

Aku memutuskan untuk tidur sejenak, karena tidak tahu apa yang akan datang nanti malam. Kupejamkan mata dan berusaha tidur. Aku teringat dua kasus yang aku hadapi hari ini ... yang satu dikhianati kepercayaannya oleh orang yang ia cintai, yang satu setengah mati mencintai (atau bisa dikatakan ... terobsesi?) ... tanpa bisa kucegah, imajinasiku melayang membayangkan apa jadinya kalau hidup mereka berdua adalah sebuah film romantic comedy. 


Si gadis bertemu dengan si Mr.X ... mungkin saat ia berlari menghindari kejaran pacarnya yang mau memukulinya? Mr.X menghajar pacar si gadis dengan maksud melindungi, kemudian mereka berkenalan, kemudian mereka saling curhat, kemudian mereka jatuh cinta, kemudian mereka melupakan yang menyia-nyiakan mereka dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya? Kenapa tidak bisa seperti itu? Itu ending yang ideal bukan? Menurutku sih ... 


Oh well ...lagi-lagi aku hanya bisa menemukan 'itulah hidup' - whatever that means - sebagai jawaban atas pertanyaanku. Semua orang ingin bahagia, ingin mencintai dan dicintai. Tapi dalam hidup, seringkali tidak bisa sesederhana itu. Haish ... memikirkannya saja sudah pusing. Lebih baik aku tidur dulu, mudah-mudahan nanti malam jagaku aman.

Aku tidak tahu kapan aku terlelap. Tahu-tahu saja aku merasa ada yang berdiri di depanku. Aku memicingkan mata, melihat sosok samar-samar yang kemudian semakin jelas. Seorang pria berambut emo, mengenakan baju hitam bertuliskan makian, jins sobek-sobek dan sandal jepit, tengah menatapku.  Ini kan ... Mr.X yang tadi!! Seruku dalam hati, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ketika wajahnya semakin jelas, aku melihat sudut-sudut bibirnya terangkat sedikit dan ia mengangguk padaku, sebelum berjalan keluar kamar jaga.

"Kayla ..."

Ada suara laki-laki memanggil namaku. "Kayla? Kayla?" aku merasa ada yang mengguncang bahuku dan aku bangun gelagapan.

Desta nyengir melihatku. "Sori elo udah tidur yah? Barusan ada panggilan ke IGD, ada visum."

"Oh? Mmm ... okeh okeh, bentar ..."

Aku meraih HP yang tadi sedang di- charge, memastikan notesku ada di kantong baju jaga, sebelum mengikuti Desta dan teman-teman lain ke luar kamar jaga. Sepertinya, masih banyak cerita yang akan aku dengar malam ini ...

Friday 8 May 2020

Kapok Lombok

Kapok lombok. Istilah ini sebenarnya berarti rasa jera yang hanya bertahan sementara. Seperti orang yang makan cabe, kepedasan, merasa kapok, ehh besoknya diulangi lagi. Begitu terus. Tapi, buatku pribadi, kapok lombok itu adalah jera yang sebenarnya.

Gara-gara ada yang bilang kalau obat ngambek perempuan itu seblak, aku jadi tertarik menulis random soal rasa pedas yang identik dengan seblak. Aku dulu adalah penyuka pedas. Kalau makan apa-apa pasti pakai sambel kalau nggak ya bubuk boncabe. Aku suka Mie Gaga lada hitam, mie ABC selera pedas dan selalu penasaran sama mie pedas lainnya (bukan pesan sponsor)

Makan pedas itu bikin kecanduan banget. Setiap kali makan pedas pasti penasaran pengen lagi dan lagi, dengan level pedas yang bertambah. Aku sempat tertarik makan mie ramen super pedas di salah satu resto ramen murah meriah ... tapi karena syaratnya aku harus menghabiskannya dalam waktu tertentu akhirnya nyerah deh. Biarpun suka pedas, tapi aku paling nggak bisa makan cepet. Makanku pasti pelan-pelan dan kalau harus makan cepet, aku lebih memilih ngemil atau minum susu.

Akhirnya suatu kali aku kena batunya. Berawal dari pilek gara-gara kecapean, aku dapet ide untuk 'mengusir' pilekku dengan makan pedas. Waktu itu aku masih kost di Semarang dan hobi bereksperimen di dapur. Berbekal bon cabe level 10, bubuk krim sup instan, sosis dan jamur ... jadilah krim sup super pedas ala anak kost. Satu mangkok besar pun habis walau setiap beberapa suap aku harus minum air. Aku keringetan dan yakin kalau besoknya pilekku akan hilang. paling efek sampingnya cuma diare ringan besok pagi.

SALAH. b

Besok paginya aku malah tidak diare sama sekali. Pilekku juga hilang. Sayangnya, semua itu erganti nyeri ulu hati dan muntah-muntah. Aku nggak bisa makan apa-apa. Minum sedikit pun muntah. Aku hanya bisa berbaring di tempat tidur dengan perut sakit bukan main.  Ampun deh aku sampai mengira apa aku kena radang usus buntu. Akhirnya sore hari aku terpaksa diinfus di IGD gara-gara hampir dehidrasi. Di IGD aku hanya bisa pasrah. Disuntik obat penurun asam lambung, obat anti muntah dan harus berbaring di atas tempat tidur sampai habis 2 botol infus. Dokter IGD menyuruhku istirahat 2 hari. Aku nggak berani bilang ke teman-temanku sesama residen, apalagi foto tangan yang diinfus biar ditanya kenapa. Aku bakalan jadi bahan ketawaan kalau mereka tahu aku diinfus gara-gara overdosis bon cabe.

Sejak saat itu aku kapok. Kapok lombok beneran. Nggak lagi-lagi aku harus di IGD gara-gara nggak bisa menakar kekuatan perut. Saking kapoknya, waktu aku nyoba jajan Seblak, tadinya aku minta level pedas paling rendah ... tapi melihat Mbak penjual seblak menuangkan satu sendok sambel yang kelihatan serem di pesanan orang yang lebih dulu memesan ... akhirnya aku minta level 0 alias nggak pakai sambel sama sekali.

Si Mbak sempat heran, "Lho, nggak pakai sambel sama sekali Mbak?"

"Iya Mbak. Level 0 aja." , aku mengangguk mantap.

Si Mbak masih ragu, "Nggak mau sedikit saja? Setengah sendok? Kalau nggak pedes sama sekali nanti rasanya kayak mie instan biasa lho."

"Ng ..." aku melihat mangkok sambel Seblak yang penuh biji cabe, "Nggak usah Mbak. Udah begitu aja."

Mbak penjual Seblak akhirnya berinisiatif membekali sambelnya di plastik terpisah. Aku pun makan seblak isi mie, chikuwa, telor, bakso dan ati ampela dengan kuah bening rasa kaldu ayam. Kayak makan indomie isi sisa frozen food di kulkas. Biarin deh diliatin. Daripada insiden masuk IGD keulang lagi.

Ternyata bukan cuma aku yang pernah masuk IGD gara-gara pedas. Sepupuku dan 3 orang teman sekantornya juga pernah dirawat karena radang usus bersamaan. Gara-garanya mereka makan mie goreng dengan 100 cabe rawit. Astaga ... tapi sampai sekarang sepupuku tetap tidak kapok. Dia tetap jadi penggemar pedas level tinggi dan gemar berburu makanan pedas. Wih ... kalau aku, aku beneran sudah nyerah. Cukup sekali saja aku harus masuk IGD gara-gara kekonyolanku. Aku nggak mau menganiaya diri sendiri cuma demi kepuasan di mulut :'D

Thursday 7 May 2020

Rahasia

When Eleanor goes back in the house after seeing Park, Richie is crass and abusive, calling her "nothing but a bitch in heat." His degrading comments force her to think more deeply about her situation. Until now, she'd "kept Park in a place in her head" that "Richie couldn't get to." But now Richie is "pissing all over everything," and she can't think about Park without seeing Richie's leering face. 
Elanor & Park - Rainbow Rowell 

Simpan segala kenangan indah yang tersisa
Kembali ke dalam kotak memori
Jangan lupa kunci rapat-rapat
Dan jangan sampai ada yang tahu
Lalu mencari kesempatan untuk merusaknya

Wednesday 6 May 2020

Puing

Sudah, diam sayang
Tidak ada gunanya menangis
Ini bukan cerita dongeng
Dan kamu bukan Alice di negeri dongeng

Lihat tetesan air hujan sayang?
Lihat hantaman ombak di bibir pantai?
Adakah mereka melambat
Untuk ikut mengheningkan cipta denganmu?

Semesta tidak pernah mau menunggu, sayang
Bukankah sering kukatakan padamu?

Tuesday 5 May 2020

Luruh


“Memang cinta bisa ditakar? Kayaknya, cinta sih cuma cinta doang. Cinta nggak kenal besar apa kecil. Cinta cuma satu,  nggak perlu takaran. Takaran bisa bikin cinta jadi dua. Dua bikin permusuhan. Permusuhan bikin kelahi.” – Ca Bau Kan, Remy Sylado.

Hari ini aku kehabisan kata
Ketika kau ambruk bersimpuh di hadapanku
Dengan napas yang tinggal satu-satu
Serta jejak kaki berdarah di belakangmu

“Aku lelah”, berulangkali kau ucapkan mantra itu
Sambil membasuh dirimu
Dengan rambut panjangmu
Yang kau basahi dengan air matamu
Sekelam itu kini hati dan jiwamu

Setelah semesta membalikan tangan
Dan menghancurkan delusimu
Tentang sebuah utopia
Dimana dirimu menjadi poros
Dari segala yang ingin kamu miliki

Kau mengira gravitasimu
Juga kepiawaianmu membagi jiwa
Cukup untuk menjaga duniamu
Dalam suatu tatanan yang teratur
Dan kini semuanya luruh menjadi abu
Tidak ada lagi yang tersisia untukmu

Berhenti bicara, sayang
Ampuni jiwamu sendiri
Berhenti berlari, sayang
Diamlah
Agar sekali ini
Bisa kau dengar suara nuranimu

Monday 4 May 2020

Identifikasi Properti


Salah satu bagian paling berat dari pekerjaanku sebagai dokter spesialis forensik adalah mengidentifikasi properti. Kalau aku hanya menangani tubuh korban, aku hanya mengenal korban sebagai laki-laki atau perempuan, berusia antara sekian hingga sekian tahun, dengan sejumlah tanda kekerasan di tubuhnya dan diperkirakan meninggal sekian jam sebelum pemeriksaan. Namun, memeriksa properti membuatku merasa lebih mengenal korban yang kutangani secara lebih personal. Dan itu jauh lebih berat ketimbang memeriksa tubuh korban.

Sebagai contoh, aku pernah menangani kasus kecelakaan besar di Jakarta. Kecelakaan yang memakan cukup banyak korban sehingga ditetapkan menjadi ‘tragedi’ oleh media massa. Aku kebagian mengidentifikasi properti. Kepolisian menyerahkan dua kantong besar berisi beberapa tas yang diduga merupakan milik korban. Aku memeriksa sebuah ransel kanvas warna merah muda dan ransel itu bercerita banyak padaku.

Ransel itu milik seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebuah map berisi proposal penelitian penuh coretan dari dosen menandakan ia baru saja mulai mengerjakan tugas akhir. Ada sebuah dompet berisi uang dan foto dirinya berangkulan dengan seorang laki-laki muda. Gambar hati di sekeliling foto itu menunjukkan laki-laki itu adalah sumber semangat utamanya. Ada inisial nama mereka berdua di dalam gambar hati merah jambu. Laki-laki itu berinisial F.

Hatiku terasa pilu. Terlebih ketika tiba-tiba saja terdengar bunyi dering ponsel dari salah satu saku tas ransel itu. Ponsel gadis itu masih hidup dan nama ‘F – Sayangku’ berkedip memanggil. Aku menunggu sampai ponsel itu selesai berdering. Rupanya sudah ada belasan panggilan tak terjawab. Ada juga tampilan isi pesan yang masuk dari aplikasi WhatsApp. Nomor tadi mengirimkan banyak sekali pesan. Sayang kamu dimana?? Sayang?? Angkat teleponku!! Nadanya sangat mendesak.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya laki-laki itu jika mengetahui kekasihnya saat ini sudah terbujur kaku di salah satu meja pemeriksaan forensik.

Kubayangkan laki-laki malang itu terus mencoba menghubungi kekasihnya dengan panik setelah mendengar insiden kecelakaan itu. Mungkin mereka sempat bertemu sebelumnya, berbagai kebahagiaan atau mungkin malah bertengkar sebagaimana pasangan pada umumnya. Setelah berpisah, mereka sama sekali tidak mengira kalau itu kali terakhir mereka bisa bertemu. Masih banyak kata-kata yang belum tersampaikan satu sama lain. Masih banyak rencana yang belum terealisasikan. Namun, semua sudah harus berakhir sampai di sini.

Pada kesempatan lain aku mendapat kasus seorang laki-laki yang jatuh ke jurang saat sedang mendaki gunung. Ia ditemukan dua puluh empat jam setelah dilaporkan hilang. Menurut keterangan saksi, sebelumnya laki-laki itu menyusuri pegunungan dengan ditemani oleh pemandu wisata. Namun kemudian laki-laki itu berkata ingin memotret sesuatu. Pemandu wisata laki-laki itu menunggu cukup lama sebelum memutuskan menyusul. Laki-laki itu tidak membalas panggilannya. Pemandu wisata kemudian segera menelpon tim SAR.

Laki-laki itu dibawa ke forensik dengan luka yang cukup parah di bagian kaki dan kepala. Ia mengenakan jaket bertudung bahan parasut motif loreng. Sebuah tas pinggang masih menempel di tubuhnya. Tas pinggang berukuran sedang itu berisi dompet, kacamata hitam, kotak rokok, kunci penginapan dan ponsel yang sudah mati. Laki-laki malang itu sedang berlibur seorang diri. Ia adalah seorang pegawai perusahaan swasta di Kota Kembang. Menurut keterangan beberapa staff hotel, laki-laki itu mereupakan salah seorang langganan setia di hotel tersebut. Ia rutin datang dua bulan sekali.

Aku mendapatkan cerita lebih lengkap dari kamera digital yang ada di dalam tas laki-laki itu. Ada foto dirinya bersama seorang perempuan di stasiun kereta api, foto-foto yang diambil dari jendela kereta, foto penginapan dan pemandangan. Foto-foto terakhir menunjukkan apa yang ia lihat di detik terakhir hidupnya. Ia memotret jalan yang ia lewati dengan harapan jika ia tersesat maka ia bisa menemukan jalan pulang dari foto-foto di kameranya. Di foto terakhir ia berniat hendak memotret puncak pepohonan pinus yang sedang dinaungi kabut. Sepertinya ia mengambil foto itu dari bibir jurang. Ia terlalu asyik mengambil foto sehingga tidak sadar ia berdiri terlalu dekat dengan bibir jurang dan terperosok.

Perempuan yang kulihat di foto itu saat itu hanya bisa duduk terpekur di kursi tunggu keluarga korban. Ia tidak menyangka mengantar kekasihnya berangkat ke stastiun dan melambaikan tangan selamat tinggal, kata-kata ‘sampai berjumpa kembali’ hanya tinggal kata-kata. Ia tidak bisa lagi bertemu dengan kekasihnya.

Itulah sulitnya melakukan identifikasi properti. Kita seolah mengenal korban yang kita periksa secara lebih personal. Tidak ada bedanya antara kasus besar yang seolah membuat dunia diam sejenak mengheningkan cipta dan kasus yang bahkan tidak masuk media elektronik. Tidak ada beda antara tragedi dan ‘bagian dari statistik’. Semuanya sama. Mereka sama-sama mengepak barang untuk menjalani hari mereka pada hari itu, tanpa pernah menyangka bahwa pada akhirnya perbekalan yang mereka bawa akan menjadi barang bukti kepolisian. Mereka sama-sama hanya bisa diam, sementara barang-barang yang mereka bawa bercerita pada polisi dan dokter pemeriksa.


Jadi, apa yang kalian bawa sebagai perbekalan kalian hari ini?

Sunday 3 May 2020

(Tidak) Terbatas


Aku pernah membaca buku ‘The Perks of Being a Wallflower’ karangan Stephen Chbosky. Di buku itu ada adegan dimana Charlie - si tokoh utama – berkendara bersama teman-temannya. Ketika mereka melewati terowongan di malam hari, Charlie mendeskripsikan apa yang ia rasakan sebagai ‘infinite – tak terbatas’. Ia merasa hidup. Ia melihat cahaya lampu gedung di malam hari, mendengarkan lagu dan ia berkendara dengan orang yang sangat ia sayangi. Ia merasa tidak terbatas. Infinite.

Adegan serupa hampir selalu kulihat di akhir tahun ajaran. Tepatnya, setelah pengumuman hasil ujian akhir. Banyak pelajar yang berkonvoi berkeliling kota, berteriak-teriak lepas, mencorat-coret baju seragam mereka dan lain-lain. Mereka begitu larut dalam euforia. Mereka merasa sudah bebas dari beban yang menghimpit. Aku pernah berada di posisi mereka. Tahun akhir sekolah biasanya menjadi tahun penuh tekanan. Guru dan orang tua tak bosan-bosan mengingatkan pentingnya ujian akhir dan ujian masuk universitas. Mau menonton konser? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian. Mau bermain game? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian. Mau membeli novel? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian.

Tidak heran begitu ujian akhir selesai, kami merasa seperti kuda lepas pingitan. Kami merasa layak merayakan kegembiraan mereka sebebas-bebasnya, setelah ‘dikurung’ sekian lama. Tidak ada lagi alasan untuk menahan mereka bersenang-senang. Kami merasa tidak terbatas. Infinite. Orang tua dan guru seringkali kewalahan. Berbagai aturan dikeluarkan dan beberapa sekolah malah mengeluarkan ancaman akan menahan ijazah bila ada anak murid mereka yang bertindak kelewat batas saat kelulusan.

Aku tidak mau menjadi ‘senior / orang tua’ yang penggerutu dan suka meremehkan anak-anak sekolah dengan berkata : mereka tidak tahu beban macam apa yang menanti mereka setelah ini! Lihat saja, dunia kuliah / kerja itu sangat keras! Kalau mereka tahu, mereka tidak akan bertingkah begitu! Biarlah mereka bersenang-senang, lalu nanti mulai berjuang lagi selangkah demi selangkah. Mereka berhak merayakan pencapaian mereka. Hanya saja, tetap harus tahu batas. Jangan berlebihan. Kenapa? Karena kadang orang yang larut dalam euforia sering lupa diri. Mereka melakukan hal yang melanggar hukum dan akhirnya harus berurusan dengan kepolisian.

Lebih buruk lagi, mereka membahayakan nyawa mereka sendiri dan orang lain.
Suatu kali, pernah ada kasus kecelakan dimana sebuah mobil sedan sampai ringsek terlindas truk. Pengemudi berikut penumpang mobil sedan tersebut tidak ada yang selamat. Pihak kepolisian perlu waktu hampir dua jam untuk mengevakuasi para korban. Kondisi korban sudah tidak bisa dikenali lagi sehingga setelah melakukan pemeriksaan, para korban perlu direkonstruksi sebelum dimasukkan ke dalam peti yang tertutup.

Berat sekali ketika dokter harus menyampaikan ke keluarga korban kalau sebaiknya mereka tidak melihat korban. Korban sudah tidak lagi bisa dikenali secara visual. Melihat korban bisa menimbulkan trauma mendalam bagi keluarga korban. Biarlah mereka mengenang anggota keluarga mereka saat masih sehat saja. Sekali ini, orang tua korban pingsan saat aku baru mengatakan korban sudah tidak lagi bisa dikenali secara visual. Mereka tahu seperti apa keadaan anak-anak mereka.

Usia anak-anak mereka masih belasan tahun, walau sudah mencapai usia yang legal untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi. Kubayangkan kedua orang tua korban melepas anak-anak mereka untuk pergi nongkrong dengan teman-teman mereka, lalu dini hari terbangun oleh telepon dari kepolisian yang meminta mereka untuk datang ke instalasi forensik. Perlu waktu untuk menyembuhkan trauma dan berhenti menyalahkan diri mereka sendiri.

Hasil uji alkohol dalam darah semua korban didapatkan positif, dengan kadar yang cukup untuk membuat peminumnya merasa mengantuk sekaligus terganggu daya pikirnya. Beberapa saksi yaitu teman-teman korban yang bertemu korban sebelum kejadian mengatakan para korban sempat ‘berpesta’ di sebuah klab malam. Mungkin mereka berpikir mereka cukup ‘sadar’ untuk berkendara, jalanan dini hari pasti sepi, mereka masih muda dan sebagainya. Euforia membuat mereka merasa tak terbatas. Infinite.

Sayangnya, tidak seperti itu cara dunia bekerja. Perasaan bahwa hidup di dunia ini ‘tidak terbatas’ hanyalah ilusi. Aku tidak mengatakan bahagia itu suatu hal yang buruk, tapi seperti yang aku bilang tadi : segala sesuatu yang berlebihan itu lebih banyak mendatangkan kerugian. Seseorang bisa saja sedang tersenyum dan tertawa, lalu kemudian kehilangan nyawanya dalam hitungan sepersekian detik. Hidup ini sangat rapuh. Mengutip pepatah Jawa : urip mung mampir ngombe. Hidup itu seperti orang yang mampir untuk minum sejenak.

Dan menurutku, tahu cara membatasi diri kita sendiri merupakan salah satu cara yang baik jika kita ingin selamat dalam hidup.

Saturday 2 May 2020

Time Out


Hari ini linimasa twitterku ramai dengan postingan (terduga?) penimbun masker yang sedang kelimpungan. Mereka yang dulu membeli berkarton-karton masker untuk kemudian dijual kembali dengan harga sepuluh hingga dua puluh kali lipat harga normalnya, sekarang beramai-ramai menjual rugi masker-masker tersebut karena beberapa swalayan sudah menjual masker dengan harga murah. Jujur saja sebagai tenaga medis, aku merasa gregetan. Ingin menyumpahi dan kalau bisa ikut memaki para penimbun masker tersebut.

Pasalnya, aku sempat kena imbas perbuatan mereka juga. Tidak hanya di rumah sakit tempatku bekerja yang memperketat peraturan menggunakan alat pelindung diri, tapi teman-temanku yang masih koas atau residen ‘terpaksa’ membeli masker dengan harga lima ratus ribu per kotaknya. Sudah begitu masih juga ada berita orang yang tega menipu! Mereka mengirimkan kardus berisi mie instan alih-alih masker dan membawa lari uang si pembeli. Sekarang setelah keadaan berbalik, tangan ini sudah gatal ingin ikut melontarkan makian. Kalau diibaratkan, kekesalanku yang menumpuk ini tidak lagi berupa batu kerikil tapi batu bata yang siap mengirim target pelemparan ke dokter bedah.

Syukurlah sekarang sedang bulan puasa (walaupun harusnya di luar bulan puasa juga sih) jadi aku ‘terpaksa’ diberi waktu untuk time out. Saat time out ini lah aku teringat sesuatu. Tepatnya, sebuah kasus yang aku tangani waktu aku masih menjadi seorang dokter jaga di sebuah PUSKESMAS 24 jam.

Ketika itu sekira pukul dua pagi, PUSKESMAS tempatku bekerja kedatangan pasien dua orang pelaku curanmor. Mereka berdua sama-sama babak belur.  Mereka terluka cukup parah di bagian kaki, karena ketika hendak melarikan diri dari kejaran massa mereka nekad memanjat kawat berduri sebelum jatuh dan salah satu dari mereka patah pergelangan kakinya. Aku dan rekan jagaku segera mempersiapkan tindakan penjahitan dan pembersihan luka. Saat sedang mempersiapkan alat-alat, rekan jagaku bergumam, “Obat bius ini terlalu berharga untuk orang semacam mereka.”

Tentu saja aku kaget. Temanku itu termasuk dokter favorit.. Aku pernah melihatnya menangani pasien anak sambil tersenyum sabar, padahal pasien anak itu sudah memukul, menendang dan meludahinya. Sekarang setelah didera rasa lelah dan keruwetan pikiran menghadapi pasien-pasien di IGD tiba-tiba saja kalimat semacam itu terlontar dari mulutnya.

Aku sontak menegur, “Hush, jangan bicara begitu! Tidak pantas kita sebagai dokter bicara begitu, terlepas pasiennya mendengar atau tidak.”

Dengan wajah jengkel temanku berkata, “Kamu tidak tahu seperti apa mereka waktu mencuri? Mereka tidak segan-segan mengancam bahkan melukai korban mereka, tahu! Aku pernah dipalak oleh orang semacam itu. Tidak hanya uang dan ponselku yang ludes, aku juga dipukuli! Sekarang mereka datang kemari dengan memelas-melas minta diobati. Huh!”

Ia kelihatan marah sekali. Kejadian entah berapa tahun lalu itu pasti sangat membekas di ingatannya. Aku mencoba menenangkannya dan mengingatkannya kalau orang yang dulu memalaknya bukan orang yang sama dengan orang yang akan kita tangani. Aku tidak memihak siapa-siapa, tapi membiarkan dua tersangka pelaku curanmor itu kesakitan tidak akan mengubah apa-apa. Kita tidak bisa bermain jadi hakim dan eksekutor sekaligus, lalu memberi hukuman dengan harapan memberi ‘efek jera’ bagi terpidana dan membuat orang lain takut melakukan tindak kejahatan karena tahu hukuman sadis apa yang akan mereka terima.

Tingkat kejahatan tidak lantas akan turun drastis. Malah akan melahirkan dendam baru. Para tersangka akan marah pada tenaga medis yang tidak menangani mereka dengan benar, lalu akan melampiaskan dendam mereka suatu saat nanti. Setelah kubujuk, akhirnya temanku bisa lebih tenang dan menyadari kekhilafannya. Syukurlah.

Setelah kami selesai menangani kedua orang itu, salah seorang dari mereka diamankan oleh polisi sementara yang lain harus dirujuk ke rumah sakit untuk dioperasi. Keduanya kami serahkan ke pihak yang berwenang, baik secara medis maupun hukum.

Kejadian itu yang menahanku untuk tidak ikut melakukan persekusi di sosial media, waluapun aku dongkol bukan main dengan para penimbun masker itu. Saat aku melihat ada yang meneruskan akun mereka ke pihak yang berwenang, aku rasa sudah cukup. Biarlah nanti pihak berwajib yang menanganinya. Syukur-syukur kalau para penimbun mau ‘membersihkan’ usaha mereka dengan mendonasikan alat-alat medis itu ke pusat pelayanan kesehatan atau ke orang yang membutuhkan. Terserah mereka. Aku tidak usah capek-capek berperan sebagai polisi, hakim dan eksekutor sekaligus.

Karena seringkali, diam dan menahan diri adalah langkah ‘menyerang’ yang terbaik.

Friday 1 May 2020

Di Balik Layar


Bekerja di bidang MEDIS membuatku sedikit banyak tahu wajah asli sebuah kota. Seperti kota Jakarta. Mayoritas orang mengetahui kota Jakarta dari saluran televisi tau Youtube. Mereka melihat Jakarta sebagai montase tempat-tempat indah, dengan musik modern. Banyak yang membayangkan tempat-tempat indah serba mengkilap, makanan serbalezat, orang-orang berpenampilan keren dan kehidupan serbamudah. Jakarta adalah kota dengan sejuta kesempatan.

Salah satu dari sekian wajah Jakarta yang tidak bisa kulupakan adalah cerita tentang seorang selebritas muda yang ditemukan meninggal di indekosnya. Cerita ini kudapatkan dari seorang temanku yang bertugas di instalasi forensik rumah sakit di bilangan Jakarta Selatan. Selebritas muda itu ditemukan setelah kurang-lebih dua hari lamanya. Detik-detik terakhir hidupnya ia habiskan sendirian dalam kesakitan. Padahal jika kita melihat tayangan di media massa atau elektronik, kehidupan selebritas selalu dikelilingi banyak teman. Dalam sesi wawancara mereka selalu tampak penuh percaya diri, tertawa bersama teman-teman mereka di setiap acara.

Tidak ada yang tahu betapa tingginya stresor yang mereka hadapi. Mereka diwajibkan bekerja dua puluh empat jam sehari, malah kadang kurang. Selama dua puluh empat jam itu juga mereka harus sempurna dari segi penampilan maupun psikis. Tidak ada penggemar yang ingin melihat idolanya tampak murung, stres apalagi bersitegang dengan pasangan apapun alasannya. Para pembenci akan berpesta pora mempermalukan mereka dengan jejak-jejak digital yang tidak bisa hilang begitu saja.

Dulu aku pernah bekerja di sebuah klinik yang terletak di lantai dasar sebuah apartemen bilangan Jakarta Timur. Aku pernah mendapat pasien seorang perempuan muda, ia sangat cantik dengan penampilan yang terlihat sangat modis walau saat itu ia hanya mengenakan celana batik dan kaos belel. Ia meminta disuntik vitamin agar bisa segar. Ia bilang padaku kalau ia sudah tidak tidur dua hari. Ia meminta disuntik multivitamin agar tidak lelah.

Aku memperingatkan perempuan itu kalau multivitamin tidak bekerja seperti bayam saat dimakan oleh Popeye. Ia sudah kelelahan. Ia perlu istirahat. Rasa lelahnya itu adalah cara tubuhnya berteriak : hei, sudah cukup! Seperti mobil yang dipaksa untuk maju walau sudah babak belur, suatu saat mobil tersebut akan ambruk di jalan. Perempuan itu hanya tersenyum miris. Ia berkata ia tidak punya waktu untuk beristirahat. Karirnya sedang bagus-bagusnya. Tidak mudah mencapai titik dimana ia berada sekarang, apalagi di Jakarta. Dimanapun perempuan itu berada, aku berharap ia dalam keadaan sehat dan bahagia.

Aku tidak tega membayangkan perempuan itu di posisi seorang selebritas papan atas yang pernah aku lihat saat acara live. Ketika itu, rumah sakit tempatku bekerja mendapat tawaran sebagai penonton. Entah kenapa aku mendapat tempat duduk di deret belakang, dimana ketika aku melongokkan kepalaku ke belakang tempat duduk aku bisa melihat sebagian kecil belakang panggung. Saat itu aku melihat seorang perempuan berwajah ayu duduk di sebuah kursi plastik dengan wajah pucat pasi. Matanya terpejam dengan wajah mengerut seolah menahan sakit. Ia lelah. Kami sempat beradu pandang dan ia buru-buru memperbaiki posisi tubuhnya sebelum tergesa-gesa pergi. Mungkin ia takut aku akan diam-diam memotretnya atau apa.

Padahal, siapa yang sampai hati berbuat demikian? Waktu aku kecil aku pernah menangis melihat seekor gajah yang dipukuli hingga menjerit kesakitan saat sedang dilatih untuk bermain sirkus. Entah tongkat apa yang digunakan oleh pelatih sadis itu, tapi yang jelas kulit tebal si gajah sampai robek dan darah segar mengalir di punggungnya. Gajah itu akhirnya hanya bisa berdiri dengan kaki terantai dengan mata yang menatap kosong. Apa ada yang sampai hati memotret gajah itu lalu menyebarluaskannya di media sosial dengan niat untuk menjadikannya bahan tertawaan? 

Aku hanya ingin bercerita sedikit mengenai secuil sisi lain kota metropolitan yang aku tahu. Aku tidak ingin meromantisasi masa pageblug ini sebagai masa ‘pemulihan diri’ atau apa. Sudah banyak contoh orang yang tergilas imbasnya, salah satunya aku sendiri. Walau demikian, aku berharap suatu saat kota dunia - kota metropolitan, dunia glamor, akademik dan lainnya - mau memelankan sedikit ritme hidupnya dan memberi ruang bernapas bagi mereka yang bernaung. Itu saja.

Ambis

  Just yesterday another hullabaloo happened in twitter (surprise, surprise). This time it was about an infamous stand-up comedian slash inf...