Showing posts with label 31HariMenulis Random. Show all posts
Showing posts with label 31HariMenulis Random. Show all posts

Sunday, 3 May 2020

(Tidak) Terbatas


Aku pernah membaca buku ‘The Perks of Being a Wallflower’ karangan Stephen Chbosky. Di buku itu ada adegan dimana Charlie - si tokoh utama – berkendara bersama teman-temannya. Ketika mereka melewati terowongan di malam hari, Charlie mendeskripsikan apa yang ia rasakan sebagai ‘infinite – tak terbatas’. Ia merasa hidup. Ia melihat cahaya lampu gedung di malam hari, mendengarkan lagu dan ia berkendara dengan orang yang sangat ia sayangi. Ia merasa tidak terbatas. Infinite.

Adegan serupa hampir selalu kulihat di akhir tahun ajaran. Tepatnya, setelah pengumuman hasil ujian akhir. Banyak pelajar yang berkonvoi berkeliling kota, berteriak-teriak lepas, mencorat-coret baju seragam mereka dan lain-lain. Mereka begitu larut dalam euforia. Mereka merasa sudah bebas dari beban yang menghimpit. Aku pernah berada di posisi mereka. Tahun akhir sekolah biasanya menjadi tahun penuh tekanan. Guru dan orang tua tak bosan-bosan mengingatkan pentingnya ujian akhir dan ujian masuk universitas. Mau menonton konser? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian. Mau bermain game? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian. Mau membeli novel? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian.

Tidak heran begitu ujian akhir selesai, kami merasa seperti kuda lepas pingitan. Kami merasa layak merayakan kegembiraan mereka sebebas-bebasnya, setelah ‘dikurung’ sekian lama. Tidak ada lagi alasan untuk menahan mereka bersenang-senang. Kami merasa tidak terbatas. Infinite. Orang tua dan guru seringkali kewalahan. Berbagai aturan dikeluarkan dan beberapa sekolah malah mengeluarkan ancaman akan menahan ijazah bila ada anak murid mereka yang bertindak kelewat batas saat kelulusan.

Aku tidak mau menjadi ‘senior / orang tua’ yang penggerutu dan suka meremehkan anak-anak sekolah dengan berkata : mereka tidak tahu beban macam apa yang menanti mereka setelah ini! Lihat saja, dunia kuliah / kerja itu sangat keras! Kalau mereka tahu, mereka tidak akan bertingkah begitu! Biarlah mereka bersenang-senang, lalu nanti mulai berjuang lagi selangkah demi selangkah. Mereka berhak merayakan pencapaian mereka. Hanya saja, tetap harus tahu batas. Jangan berlebihan. Kenapa? Karena kadang orang yang larut dalam euforia sering lupa diri. Mereka melakukan hal yang melanggar hukum dan akhirnya harus berurusan dengan kepolisian.

Lebih buruk lagi, mereka membahayakan nyawa mereka sendiri dan orang lain.
Suatu kali, pernah ada kasus kecelakan dimana sebuah mobil sedan sampai ringsek terlindas truk. Pengemudi berikut penumpang mobil sedan tersebut tidak ada yang selamat. Pihak kepolisian perlu waktu hampir dua jam untuk mengevakuasi para korban. Kondisi korban sudah tidak bisa dikenali lagi sehingga setelah melakukan pemeriksaan, para korban perlu direkonstruksi sebelum dimasukkan ke dalam peti yang tertutup.

Berat sekali ketika dokter harus menyampaikan ke keluarga korban kalau sebaiknya mereka tidak melihat korban. Korban sudah tidak lagi bisa dikenali secara visual. Melihat korban bisa menimbulkan trauma mendalam bagi keluarga korban. Biarlah mereka mengenang anggota keluarga mereka saat masih sehat saja. Sekali ini, orang tua korban pingsan saat aku baru mengatakan korban sudah tidak lagi bisa dikenali secara visual. Mereka tahu seperti apa keadaan anak-anak mereka.

Usia anak-anak mereka masih belasan tahun, walau sudah mencapai usia yang legal untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi. Kubayangkan kedua orang tua korban melepas anak-anak mereka untuk pergi nongkrong dengan teman-teman mereka, lalu dini hari terbangun oleh telepon dari kepolisian yang meminta mereka untuk datang ke instalasi forensik. Perlu waktu untuk menyembuhkan trauma dan berhenti menyalahkan diri mereka sendiri.

Hasil uji alkohol dalam darah semua korban didapatkan positif, dengan kadar yang cukup untuk membuat peminumnya merasa mengantuk sekaligus terganggu daya pikirnya. Beberapa saksi yaitu teman-teman korban yang bertemu korban sebelum kejadian mengatakan para korban sempat ‘berpesta’ di sebuah klab malam. Mungkin mereka berpikir mereka cukup ‘sadar’ untuk berkendara, jalanan dini hari pasti sepi, mereka masih muda dan sebagainya. Euforia membuat mereka merasa tak terbatas. Infinite.

Sayangnya, tidak seperti itu cara dunia bekerja. Perasaan bahwa hidup di dunia ini ‘tidak terbatas’ hanyalah ilusi. Aku tidak mengatakan bahagia itu suatu hal yang buruk, tapi seperti yang aku bilang tadi : segala sesuatu yang berlebihan itu lebih banyak mendatangkan kerugian. Seseorang bisa saja sedang tersenyum dan tertawa, lalu kemudian kehilangan nyawanya dalam hitungan sepersekian detik. Hidup ini sangat rapuh. Mengutip pepatah Jawa : urip mung mampir ngombe. Hidup itu seperti orang yang mampir untuk minum sejenak.

Dan menurutku, tahu cara membatasi diri kita sendiri merupakan salah satu cara yang baik jika kita ingin selamat dalam hidup.

Saturday, 2 May 2020

Time Out


Hari ini linimasa twitterku ramai dengan postingan (terduga?) penimbun masker yang sedang kelimpungan. Mereka yang dulu membeli berkarton-karton masker untuk kemudian dijual kembali dengan harga sepuluh hingga dua puluh kali lipat harga normalnya, sekarang beramai-ramai menjual rugi masker-masker tersebut karena beberapa swalayan sudah menjual masker dengan harga murah. Jujur saja sebagai tenaga medis, aku merasa gregetan. Ingin menyumpahi dan kalau bisa ikut memaki para penimbun masker tersebut.

Pasalnya, aku sempat kena imbas perbuatan mereka juga. Tidak hanya di rumah sakit tempatku bekerja yang memperketat peraturan menggunakan alat pelindung diri, tapi teman-temanku yang masih koas atau residen ‘terpaksa’ membeli masker dengan harga lima ratus ribu per kotaknya. Sudah begitu masih juga ada berita orang yang tega menipu! Mereka mengirimkan kardus berisi mie instan alih-alih masker dan membawa lari uang si pembeli. Sekarang setelah keadaan berbalik, tangan ini sudah gatal ingin ikut melontarkan makian. Kalau diibaratkan, kekesalanku yang menumpuk ini tidak lagi berupa batu kerikil tapi batu bata yang siap mengirim target pelemparan ke dokter bedah.

Syukurlah sekarang sedang bulan puasa (walaupun harusnya di luar bulan puasa juga sih) jadi aku ‘terpaksa’ diberi waktu untuk time out. Saat time out ini lah aku teringat sesuatu. Tepatnya, sebuah kasus yang aku tangani waktu aku masih menjadi seorang dokter jaga di sebuah PUSKESMAS 24 jam.

Ketika itu sekira pukul dua pagi, PUSKESMAS tempatku bekerja kedatangan pasien dua orang pelaku curanmor. Mereka berdua sama-sama babak belur.  Mereka terluka cukup parah di bagian kaki, karena ketika hendak melarikan diri dari kejaran massa mereka nekad memanjat kawat berduri sebelum jatuh dan salah satu dari mereka patah pergelangan kakinya. Aku dan rekan jagaku segera mempersiapkan tindakan penjahitan dan pembersihan luka. Saat sedang mempersiapkan alat-alat, rekan jagaku bergumam, “Obat bius ini terlalu berharga untuk orang semacam mereka.”

Tentu saja aku kaget. Temanku itu termasuk dokter favorit.. Aku pernah melihatnya menangani pasien anak sambil tersenyum sabar, padahal pasien anak itu sudah memukul, menendang dan meludahinya. Sekarang setelah didera rasa lelah dan keruwetan pikiran menghadapi pasien-pasien di IGD tiba-tiba saja kalimat semacam itu terlontar dari mulutnya.

Aku sontak menegur, “Hush, jangan bicara begitu! Tidak pantas kita sebagai dokter bicara begitu, terlepas pasiennya mendengar atau tidak.”

Dengan wajah jengkel temanku berkata, “Kamu tidak tahu seperti apa mereka waktu mencuri? Mereka tidak segan-segan mengancam bahkan melukai korban mereka, tahu! Aku pernah dipalak oleh orang semacam itu. Tidak hanya uang dan ponselku yang ludes, aku juga dipukuli! Sekarang mereka datang kemari dengan memelas-melas minta diobati. Huh!”

Ia kelihatan marah sekali. Kejadian entah berapa tahun lalu itu pasti sangat membekas di ingatannya. Aku mencoba menenangkannya dan mengingatkannya kalau orang yang dulu memalaknya bukan orang yang sama dengan orang yang akan kita tangani. Aku tidak memihak siapa-siapa, tapi membiarkan dua tersangka pelaku curanmor itu kesakitan tidak akan mengubah apa-apa. Kita tidak bisa bermain jadi hakim dan eksekutor sekaligus, lalu memberi hukuman dengan harapan memberi ‘efek jera’ bagi terpidana dan membuat orang lain takut melakukan tindak kejahatan karena tahu hukuman sadis apa yang akan mereka terima.

Tingkat kejahatan tidak lantas akan turun drastis. Malah akan melahirkan dendam baru. Para tersangka akan marah pada tenaga medis yang tidak menangani mereka dengan benar, lalu akan melampiaskan dendam mereka suatu saat nanti. Setelah kubujuk, akhirnya temanku bisa lebih tenang dan menyadari kekhilafannya. Syukurlah.

Setelah kami selesai menangani kedua orang itu, salah seorang dari mereka diamankan oleh polisi sementara yang lain harus dirujuk ke rumah sakit untuk dioperasi. Keduanya kami serahkan ke pihak yang berwenang, baik secara medis maupun hukum.

Kejadian itu yang menahanku untuk tidak ikut melakukan persekusi di sosial media, waluapun aku dongkol bukan main dengan para penimbun masker itu. Saat aku melihat ada yang meneruskan akun mereka ke pihak yang berwenang, aku rasa sudah cukup. Biarlah nanti pihak berwajib yang menanganinya. Syukur-syukur kalau para penimbun mau ‘membersihkan’ usaha mereka dengan mendonasikan alat-alat medis itu ke pusat pelayanan kesehatan atau ke orang yang membutuhkan. Terserah mereka. Aku tidak usah capek-capek berperan sebagai polisi, hakim dan eksekutor sekaligus.

Karena seringkali, diam dan menahan diri adalah langkah ‘menyerang’ yang terbaik.

Friday, 1 May 2020

Di Balik Layar


Bekerja di bidang MEDIS membuatku sedikit banyak tahu wajah asli sebuah kota. Seperti kota Jakarta. Mayoritas orang mengetahui kota Jakarta dari saluran televisi tau Youtube. Mereka melihat Jakarta sebagai montase tempat-tempat indah, dengan musik modern. Banyak yang membayangkan tempat-tempat indah serba mengkilap, makanan serbalezat, orang-orang berpenampilan keren dan kehidupan serbamudah. Jakarta adalah kota dengan sejuta kesempatan.

Salah satu dari sekian wajah Jakarta yang tidak bisa kulupakan adalah cerita tentang seorang selebritas muda yang ditemukan meninggal di indekosnya. Cerita ini kudapatkan dari seorang temanku yang bertugas di instalasi forensik rumah sakit di bilangan Jakarta Selatan. Selebritas muda itu ditemukan setelah kurang-lebih dua hari lamanya. Detik-detik terakhir hidupnya ia habiskan sendirian dalam kesakitan. Padahal jika kita melihat tayangan di media massa atau elektronik, kehidupan selebritas selalu dikelilingi banyak teman. Dalam sesi wawancara mereka selalu tampak penuh percaya diri, tertawa bersama teman-teman mereka di setiap acara.

Tidak ada yang tahu betapa tingginya stresor yang mereka hadapi. Mereka diwajibkan bekerja dua puluh empat jam sehari, malah kadang kurang. Selama dua puluh empat jam itu juga mereka harus sempurna dari segi penampilan maupun psikis. Tidak ada penggemar yang ingin melihat idolanya tampak murung, stres apalagi bersitegang dengan pasangan apapun alasannya. Para pembenci akan berpesta pora mempermalukan mereka dengan jejak-jejak digital yang tidak bisa hilang begitu saja.

Dulu aku pernah bekerja di sebuah klinik yang terletak di lantai dasar sebuah apartemen bilangan Jakarta Timur. Aku pernah mendapat pasien seorang perempuan muda, ia sangat cantik dengan penampilan yang terlihat sangat modis walau saat itu ia hanya mengenakan celana batik dan kaos belel. Ia meminta disuntik vitamin agar bisa segar. Ia bilang padaku kalau ia sudah tidak tidur dua hari. Ia meminta disuntik multivitamin agar tidak lelah.

Aku memperingatkan perempuan itu kalau multivitamin tidak bekerja seperti bayam saat dimakan oleh Popeye. Ia sudah kelelahan. Ia perlu istirahat. Rasa lelahnya itu adalah cara tubuhnya berteriak : hei, sudah cukup! Seperti mobil yang dipaksa untuk maju walau sudah babak belur, suatu saat mobil tersebut akan ambruk di jalan. Perempuan itu hanya tersenyum miris. Ia berkata ia tidak punya waktu untuk beristirahat. Karirnya sedang bagus-bagusnya. Tidak mudah mencapai titik dimana ia berada sekarang, apalagi di Jakarta. Dimanapun perempuan itu berada, aku berharap ia dalam keadaan sehat dan bahagia.

Aku tidak tega membayangkan perempuan itu di posisi seorang selebritas papan atas yang pernah aku lihat saat acara live. Ketika itu, rumah sakit tempatku bekerja mendapat tawaran sebagai penonton. Entah kenapa aku mendapat tempat duduk di deret belakang, dimana ketika aku melongokkan kepalaku ke belakang tempat duduk aku bisa melihat sebagian kecil belakang panggung. Saat itu aku melihat seorang perempuan berwajah ayu duduk di sebuah kursi plastik dengan wajah pucat pasi. Matanya terpejam dengan wajah mengerut seolah menahan sakit. Ia lelah. Kami sempat beradu pandang dan ia buru-buru memperbaiki posisi tubuhnya sebelum tergesa-gesa pergi. Mungkin ia takut aku akan diam-diam memotretnya atau apa.

Padahal, siapa yang sampai hati berbuat demikian? Waktu aku kecil aku pernah menangis melihat seekor gajah yang dipukuli hingga menjerit kesakitan saat sedang dilatih untuk bermain sirkus. Entah tongkat apa yang digunakan oleh pelatih sadis itu, tapi yang jelas kulit tebal si gajah sampai robek dan darah segar mengalir di punggungnya. Gajah itu akhirnya hanya bisa berdiri dengan kaki terantai dengan mata yang menatap kosong. Apa ada yang sampai hati memotret gajah itu lalu menyebarluaskannya di media sosial dengan niat untuk menjadikannya bahan tertawaan? 

Aku hanya ingin bercerita sedikit mengenai secuil sisi lain kota metropolitan yang aku tahu. Aku tidak ingin meromantisasi masa pageblug ini sebagai masa ‘pemulihan diri’ atau apa. Sudah banyak contoh orang yang tergilas imbasnya, salah satunya aku sendiri. Walau demikian, aku berharap suatu saat kota dunia - kota metropolitan, dunia glamor, akademik dan lainnya - mau memelankan sedikit ritme hidupnya dan memberi ruang bernapas bagi mereka yang bernaung. Itu saja.

Ambis

  Just yesterday another hullabaloo happened in twitter (surprise, surprise). This time it was about an infamous stand-up comedian slash inf...