Bekerja di bidang MEDIS membuatku sedikit banyak tahu wajah asli sebuah kota. Seperti kota Jakarta. Mayoritas
orang mengetahui kota Jakarta dari saluran televisi tau Youtube. Mereka melihat
Jakarta sebagai montase tempat-tempat indah, dengan musik modern. Banyak yang
membayangkan tempat-tempat indah serba mengkilap, makanan serbalezat,
orang-orang berpenampilan keren dan kehidupan serbamudah. Jakarta adalah kota dengan
sejuta kesempatan.
Salah satu dari sekian wajah
Jakarta yang tidak bisa kulupakan adalah cerita tentang seorang selebritas muda
yang ditemukan meninggal di indekosnya. Cerita ini kudapatkan dari seorang
temanku yang bertugas di instalasi forensik rumah sakit di bilangan Jakarta
Selatan. Selebritas muda itu ditemukan setelah kurang-lebih dua hari lamanya. Detik-detik
terakhir hidupnya ia habiskan sendirian dalam kesakitan. Padahal jika kita
melihat tayangan di media massa atau elektronik, kehidupan selebritas selalu
dikelilingi banyak teman. Dalam sesi wawancara mereka selalu tampak penuh
percaya diri, tertawa bersama teman-teman mereka di setiap acara.
Tidak ada yang tahu betapa tingginya
stresor yang mereka hadapi. Mereka diwajibkan bekerja dua puluh empat jam sehari,
malah kadang kurang. Selama dua puluh empat jam itu juga mereka harus sempurna
dari segi penampilan maupun psikis. Tidak ada penggemar yang ingin melihat
idolanya tampak murung, stres apalagi bersitegang dengan pasangan apapun
alasannya. Para pembenci akan berpesta pora mempermalukan mereka dengan jejak-jejak
digital yang tidak bisa hilang begitu saja.
Dulu aku pernah bekerja di sebuah
klinik yang terletak di lantai dasar sebuah apartemen bilangan Jakarta Timur.
Aku pernah mendapat pasien seorang perempuan muda, ia sangat cantik dengan
penampilan yang terlihat sangat modis walau saat itu ia hanya mengenakan celana
batik dan kaos belel. Ia meminta disuntik vitamin agar bisa segar. Ia bilang
padaku kalau ia sudah tidak tidur dua hari. Ia meminta disuntik multivitamin
agar tidak lelah.
Aku memperingatkan perempuan itu
kalau multivitamin tidak bekerja seperti bayam saat dimakan oleh Popeye. Ia
sudah kelelahan. Ia perlu istirahat. Rasa lelahnya itu adalah cara tubuhnya
berteriak : hei, sudah cukup! Seperti mobil yang dipaksa untuk maju walau sudah
babak belur, suatu saat mobil tersebut akan ambruk di jalan. Perempuan itu
hanya tersenyum miris. Ia berkata ia tidak punya waktu untuk beristirahat.
Karirnya sedang bagus-bagusnya. Tidak mudah mencapai titik dimana ia berada
sekarang, apalagi di Jakarta. Dimanapun perempuan itu berada, aku berharap ia
dalam keadaan sehat dan bahagia.
Aku tidak tega membayangkan perempuan
itu di posisi seorang selebritas papan atas yang pernah aku lihat saat acara
live. Ketika itu, rumah sakit tempatku bekerja mendapat tawaran sebagai penonton.
Entah kenapa aku mendapat tempat duduk di deret belakang, dimana ketika aku
melongokkan kepalaku ke belakang tempat duduk aku bisa melihat sebagian kecil
belakang panggung. Saat itu aku melihat seorang perempuan berwajah ayu duduk di
sebuah kursi plastik dengan wajah pucat pasi. Matanya terpejam dengan wajah
mengerut seolah menahan sakit. Ia lelah. Kami sempat beradu pandang dan ia
buru-buru memperbaiki posisi tubuhnya sebelum tergesa-gesa pergi. Mungkin ia
takut aku akan diam-diam memotretnya atau apa.
Padahal, siapa yang sampai hati
berbuat demikian? Waktu aku kecil aku pernah menangis melihat seekor gajah yang dipukuli hingga menjerit kesakitan saat sedang dilatih untuk bermain sirkus. Entah tongkat apa yang digunakan oleh pelatih sadis itu, tapi yang jelas kulit tebal si gajah sampai robek dan darah segar mengalir di punggungnya. Gajah itu akhirnya hanya bisa berdiri dengan kaki terantai dengan mata yang menatap kosong. Apa ada yang sampai hati memotret gajah itu lalu menyebarluaskannya di media sosial dengan niat untuk menjadikannya bahan tertawaan?
Aku hanya ingin bercerita sedikit
mengenai secuil sisi lain kota metropolitan yang aku tahu. Aku tidak ingin
meromantisasi masa pageblug ini sebagai masa ‘pemulihan diri’ atau apa. Sudah
banyak contoh orang yang tergilas imbasnya, salah satunya aku sendiri. Walau demikian,
aku berharap suatu saat kota dunia - kota metropolitan, dunia glamor, akademik dan lainnya - mau
memelankan sedikit ritme hidupnya dan memberi ruang bernapas bagi mereka yang
bernaung. Itu saja.
No comments:
Post a Comment