Saturday 2 May 2020

Time Out


Hari ini linimasa twitterku ramai dengan postingan (terduga?) penimbun masker yang sedang kelimpungan. Mereka yang dulu membeli berkarton-karton masker untuk kemudian dijual kembali dengan harga sepuluh hingga dua puluh kali lipat harga normalnya, sekarang beramai-ramai menjual rugi masker-masker tersebut karena beberapa swalayan sudah menjual masker dengan harga murah. Jujur saja sebagai tenaga medis, aku merasa gregetan. Ingin menyumpahi dan kalau bisa ikut memaki para penimbun masker tersebut.

Pasalnya, aku sempat kena imbas perbuatan mereka juga. Tidak hanya di rumah sakit tempatku bekerja yang memperketat peraturan menggunakan alat pelindung diri, tapi teman-temanku yang masih koas atau residen ‘terpaksa’ membeli masker dengan harga lima ratus ribu per kotaknya. Sudah begitu masih juga ada berita orang yang tega menipu! Mereka mengirimkan kardus berisi mie instan alih-alih masker dan membawa lari uang si pembeli. Sekarang setelah keadaan berbalik, tangan ini sudah gatal ingin ikut melontarkan makian. Kalau diibaratkan, kekesalanku yang menumpuk ini tidak lagi berupa batu kerikil tapi batu bata yang siap mengirim target pelemparan ke dokter bedah.

Syukurlah sekarang sedang bulan puasa (walaupun harusnya di luar bulan puasa juga sih) jadi aku ‘terpaksa’ diberi waktu untuk time out. Saat time out ini lah aku teringat sesuatu. Tepatnya, sebuah kasus yang aku tangani waktu aku masih menjadi seorang dokter jaga di sebuah PUSKESMAS 24 jam.

Ketika itu sekira pukul dua pagi, PUSKESMAS tempatku bekerja kedatangan pasien dua orang pelaku curanmor. Mereka berdua sama-sama babak belur.  Mereka terluka cukup parah di bagian kaki, karena ketika hendak melarikan diri dari kejaran massa mereka nekad memanjat kawat berduri sebelum jatuh dan salah satu dari mereka patah pergelangan kakinya. Aku dan rekan jagaku segera mempersiapkan tindakan penjahitan dan pembersihan luka. Saat sedang mempersiapkan alat-alat, rekan jagaku bergumam, “Obat bius ini terlalu berharga untuk orang semacam mereka.”

Tentu saja aku kaget. Temanku itu termasuk dokter favorit.. Aku pernah melihatnya menangani pasien anak sambil tersenyum sabar, padahal pasien anak itu sudah memukul, menendang dan meludahinya. Sekarang setelah didera rasa lelah dan keruwetan pikiran menghadapi pasien-pasien di IGD tiba-tiba saja kalimat semacam itu terlontar dari mulutnya.

Aku sontak menegur, “Hush, jangan bicara begitu! Tidak pantas kita sebagai dokter bicara begitu, terlepas pasiennya mendengar atau tidak.”

Dengan wajah jengkel temanku berkata, “Kamu tidak tahu seperti apa mereka waktu mencuri? Mereka tidak segan-segan mengancam bahkan melukai korban mereka, tahu! Aku pernah dipalak oleh orang semacam itu. Tidak hanya uang dan ponselku yang ludes, aku juga dipukuli! Sekarang mereka datang kemari dengan memelas-melas minta diobati. Huh!”

Ia kelihatan marah sekali. Kejadian entah berapa tahun lalu itu pasti sangat membekas di ingatannya. Aku mencoba menenangkannya dan mengingatkannya kalau orang yang dulu memalaknya bukan orang yang sama dengan orang yang akan kita tangani. Aku tidak memihak siapa-siapa, tapi membiarkan dua tersangka pelaku curanmor itu kesakitan tidak akan mengubah apa-apa. Kita tidak bisa bermain jadi hakim dan eksekutor sekaligus, lalu memberi hukuman dengan harapan memberi ‘efek jera’ bagi terpidana dan membuat orang lain takut melakukan tindak kejahatan karena tahu hukuman sadis apa yang akan mereka terima.

Tingkat kejahatan tidak lantas akan turun drastis. Malah akan melahirkan dendam baru. Para tersangka akan marah pada tenaga medis yang tidak menangani mereka dengan benar, lalu akan melampiaskan dendam mereka suatu saat nanti. Setelah kubujuk, akhirnya temanku bisa lebih tenang dan menyadari kekhilafannya. Syukurlah.

Setelah kami selesai menangani kedua orang itu, salah seorang dari mereka diamankan oleh polisi sementara yang lain harus dirujuk ke rumah sakit untuk dioperasi. Keduanya kami serahkan ke pihak yang berwenang, baik secara medis maupun hukum.

Kejadian itu yang menahanku untuk tidak ikut melakukan persekusi di sosial media, waluapun aku dongkol bukan main dengan para penimbun masker itu. Saat aku melihat ada yang meneruskan akun mereka ke pihak yang berwenang, aku rasa sudah cukup. Biarlah nanti pihak berwajib yang menanganinya. Syukur-syukur kalau para penimbun mau ‘membersihkan’ usaha mereka dengan mendonasikan alat-alat medis itu ke pusat pelayanan kesehatan atau ke orang yang membutuhkan. Terserah mereka. Aku tidak usah capek-capek berperan sebagai polisi, hakim dan eksekutor sekaligus.

Karena seringkali, diam dan menahan diri adalah langkah ‘menyerang’ yang terbaik.

No comments:

Post a Comment

Ambis

  Just yesterday another hullabaloo happened in twitter (surprise, surprise). This time it was about an infamous stand-up comedian slash inf...