Hari ini linimasa twitterku ramai dengan postingan
(terduga?) penimbun masker yang sedang kelimpungan. Mereka yang dulu membeli
berkarton-karton masker untuk kemudian dijual kembali dengan harga sepuluh
hingga dua puluh kali lipat harga normalnya, sekarang beramai-ramai menjual
rugi masker-masker tersebut karena beberapa swalayan sudah menjual masker
dengan harga murah. Jujur saja sebagai tenaga medis, aku merasa gregetan. Ingin
menyumpahi dan kalau bisa ikut memaki para penimbun masker tersebut.
Pasalnya, aku sempat kena imbas perbuatan mereka juga. Tidak
hanya di rumah sakit tempatku bekerja yang memperketat peraturan menggunakan
alat pelindung diri, tapi teman-temanku yang masih koas atau residen ‘terpaksa’
membeli masker dengan harga lima ratus ribu per kotaknya. Sudah begitu masih
juga ada berita orang yang tega menipu! Mereka mengirimkan kardus berisi mie
instan alih-alih masker dan membawa lari uang si pembeli. Sekarang setelah
keadaan berbalik, tangan ini sudah gatal ingin ikut melontarkan makian. Kalau
diibaratkan, kekesalanku yang menumpuk ini tidak lagi berupa batu kerikil tapi
batu bata yang siap mengirim target pelemparan ke dokter bedah.
Syukurlah sekarang sedang bulan puasa (walaupun harusnya di
luar bulan puasa juga sih) jadi aku ‘terpaksa’ diberi waktu untuk time out.
Saat time out ini lah aku teringat sesuatu. Tepatnya, sebuah kasus yang aku
tangani waktu aku masih menjadi seorang dokter jaga di sebuah PUSKESMAS 24 jam.
Ketika itu sekira pukul dua pagi, PUSKESMAS tempatku bekerja
kedatangan pasien dua orang pelaku curanmor. Mereka berdua sama-sama babak
belur. Mereka terluka cukup parah di
bagian kaki, karena ketika hendak melarikan diri dari kejaran massa mereka
nekad memanjat kawat berduri sebelum jatuh dan salah satu dari mereka patah
pergelangan kakinya. Aku dan rekan jagaku segera mempersiapkan tindakan
penjahitan dan pembersihan luka. Saat sedang mempersiapkan alat-alat, rekan
jagaku bergumam, “Obat bius ini terlalu berharga untuk orang semacam mereka.”
Tentu saja aku kaget. Temanku itu termasuk dokter favorit..
Aku pernah melihatnya menangani pasien anak sambil tersenyum sabar, padahal
pasien anak itu sudah memukul, menendang dan meludahinya. Sekarang setelah
didera rasa lelah dan keruwetan pikiran menghadapi pasien-pasien di IGD
tiba-tiba saja kalimat semacam itu terlontar dari mulutnya.
Aku sontak menegur, “Hush, jangan bicara begitu! Tidak pantas
kita sebagai dokter bicara begitu, terlepas pasiennya mendengar atau tidak.”
Dengan wajah jengkel temanku berkata, “Kamu tidak tahu
seperti apa mereka waktu mencuri? Mereka tidak segan-segan mengancam bahkan
melukai korban mereka, tahu! Aku pernah dipalak oleh orang semacam itu. Tidak
hanya uang dan ponselku yang ludes, aku juga dipukuli! Sekarang mereka datang
kemari dengan memelas-melas minta diobati. Huh!”
Ia kelihatan marah sekali. Kejadian entah berapa tahun lalu
itu pasti sangat membekas di ingatannya. Aku mencoba menenangkannya dan
mengingatkannya kalau orang yang dulu memalaknya bukan orang yang sama dengan orang
yang akan kita tangani. Aku tidak memihak siapa-siapa, tapi membiarkan dua
tersangka pelaku curanmor itu kesakitan tidak akan mengubah apa-apa. Kita tidak
bisa bermain jadi hakim dan eksekutor sekaligus, lalu memberi hukuman dengan
harapan memberi ‘efek jera’ bagi terpidana dan membuat orang lain takut
melakukan tindak kejahatan karena tahu hukuman sadis apa yang akan mereka
terima.
Tingkat kejahatan tidak lantas akan turun drastis. Malah
akan melahirkan dendam baru. Para tersangka akan marah pada tenaga medis yang
tidak menangani mereka dengan benar, lalu akan melampiaskan dendam mereka suatu
saat nanti. Setelah kubujuk, akhirnya temanku bisa lebih tenang dan menyadari
kekhilafannya. Syukurlah.
Setelah kami selesai menangani kedua orang itu, salah
seorang dari mereka diamankan oleh polisi sementara yang lain harus dirujuk ke
rumah sakit untuk dioperasi. Keduanya kami serahkan ke pihak yang berwenang,
baik secara medis maupun hukum.
Kejadian itu yang menahanku untuk tidak ikut melakukan
persekusi di sosial media, waluapun aku dongkol bukan main dengan para penimbun
masker itu. Saat aku melihat ada yang meneruskan akun mereka ke pihak yang
berwenang, aku rasa sudah cukup. Biarlah nanti pihak berwajib yang menanganinya.
Syukur-syukur kalau para penimbun mau ‘membersihkan’ usaha mereka dengan
mendonasikan alat-alat medis itu ke pusat pelayanan kesehatan atau ke orang
yang membutuhkan. Terserah mereka. Aku tidak usah capek-capek berperan sebagai polisi,
hakim dan eksekutor sekaligus.
Karena seringkali, diam dan menahan diri adalah langkah ‘menyerang’
yang terbaik.
No comments:
Post a Comment