Salah satu bagian paling berat
dari pekerjaanku sebagai dokter spesialis forensik adalah mengidentifikasi
properti. Kalau aku hanya menangani tubuh korban, aku hanya mengenal korban
sebagai laki-laki atau perempuan, berusia antara sekian hingga sekian tahun,
dengan sejumlah tanda kekerasan di tubuhnya dan diperkirakan meninggal sekian
jam sebelum pemeriksaan. Namun, memeriksa properti membuatku merasa lebih
mengenal korban yang kutangani secara lebih personal. Dan itu jauh lebih berat
ketimbang memeriksa tubuh korban.
Sebagai contoh, aku pernah menangani
kasus kecelakaan besar di Jakarta. Kecelakaan yang memakan cukup banyak korban
sehingga ditetapkan menjadi ‘tragedi’ oleh media massa. Aku kebagian
mengidentifikasi properti. Kepolisian menyerahkan dua kantong besar berisi beberapa
tas yang diduga merupakan milik korban. Aku memeriksa sebuah ransel kanvas
warna merah muda dan ransel itu bercerita banyak padaku.
Ransel itu milik seorang
mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebuah map berisi proposal
penelitian penuh coretan dari dosen menandakan ia baru saja mulai mengerjakan
tugas akhir. Ada sebuah dompet berisi uang dan foto dirinya berangkulan dengan
seorang laki-laki muda. Gambar hati di sekeliling foto itu menunjukkan laki-laki
itu adalah sumber semangat utamanya. Ada inisial nama mereka berdua di dalam
gambar hati merah jambu. Laki-laki itu berinisial F.
Hatiku terasa pilu. Terlebih
ketika tiba-tiba saja terdengar bunyi dering ponsel dari salah satu saku tas
ransel itu. Ponsel gadis itu masih hidup dan nama ‘F – Sayangku’ berkedip
memanggil. Aku menunggu sampai ponsel itu selesai berdering. Rupanya sudah ada belasan
panggilan tak terjawab. Ada juga tampilan isi pesan yang masuk dari aplikasi
WhatsApp. Nomor tadi mengirimkan banyak sekali pesan. Sayang kamu dimana??
Sayang?? Angkat teleponku!! Nadanya sangat mendesak.
Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana hancurnya laki-laki itu jika mengetahui kekasihnya saat ini sudah
terbujur kaku di salah satu meja pemeriksaan forensik.
Kubayangkan laki-laki malang itu terus
mencoba menghubungi kekasihnya dengan panik setelah mendengar insiden
kecelakaan itu. Mungkin mereka sempat bertemu sebelumnya, berbagai kebahagiaan
atau mungkin malah bertengkar sebagaimana pasangan pada umumnya. Setelah
berpisah, mereka sama sekali tidak mengira kalau itu kali terakhir mereka bisa
bertemu. Masih banyak kata-kata yang belum tersampaikan satu sama lain. Masih
banyak rencana yang belum terealisasikan. Namun, semua sudah harus berakhir sampai
di sini.
Pada kesempatan lain aku mendapat
kasus seorang laki-laki yang jatuh ke jurang saat sedang mendaki gunung. Ia
ditemukan dua puluh empat jam setelah dilaporkan hilang. Menurut keterangan
saksi, sebelumnya laki-laki itu menyusuri pegunungan dengan ditemani oleh
pemandu wisata. Namun kemudian laki-laki itu berkata ingin memotret sesuatu.
Pemandu wisata laki-laki itu menunggu cukup lama sebelum memutuskan menyusul. Laki-laki
itu tidak membalas panggilannya. Pemandu wisata kemudian segera menelpon tim
SAR.
Laki-laki itu dibawa ke forensik
dengan luka yang cukup parah di bagian kaki dan kepala. Ia mengenakan jaket bertudung
bahan parasut motif loreng. Sebuah tas pinggang masih menempel di tubuhnya. Tas
pinggang berukuran sedang itu berisi dompet, kacamata hitam, kotak rokok, kunci
penginapan dan ponsel yang sudah mati. Laki-laki malang itu sedang berlibur
seorang diri. Ia adalah seorang pegawai perusahaan swasta di Kota Kembang. Menurut
keterangan beberapa staff hotel, laki-laki itu mereupakan salah seorang langganan
setia di hotel tersebut. Ia rutin datang dua bulan sekali.
Aku mendapatkan cerita lebih
lengkap dari kamera digital yang ada di dalam tas laki-laki itu. Ada foto
dirinya bersama seorang perempuan di stasiun kereta api, foto-foto yang diambil
dari jendela kereta, foto penginapan dan pemandangan. Foto-foto terakhir
menunjukkan apa yang ia lihat di detik terakhir hidupnya. Ia memotret jalan
yang ia lewati dengan harapan jika ia tersesat maka ia bisa menemukan jalan
pulang dari foto-foto di kameranya. Di foto terakhir ia berniat hendak memotret
puncak pepohonan pinus yang sedang dinaungi kabut. Sepertinya ia mengambil foto
itu dari bibir jurang. Ia terlalu asyik mengambil foto sehingga tidak sadar ia
berdiri terlalu dekat dengan bibir jurang dan terperosok.
Perempuan yang kulihat di foto
itu saat itu hanya bisa duduk terpekur di kursi tunggu keluarga korban. Ia tidak
menyangka mengantar kekasihnya berangkat ke stastiun dan melambaikan tangan
selamat tinggal, kata-kata ‘sampai berjumpa kembali’ hanya tinggal kata-kata. Ia
tidak bisa lagi bertemu dengan kekasihnya.
Itulah sulitnya melakukan
identifikasi properti. Kita seolah mengenal korban yang kita periksa secara
lebih personal. Tidak ada bedanya antara kasus besar yang seolah membuat dunia
diam sejenak mengheningkan cipta dan kasus yang bahkan tidak masuk media elektronik.
Tidak ada beda antara tragedi dan ‘bagian dari statistik’. Semuanya sama. Mereka
sama-sama mengepak barang untuk menjalani hari mereka pada hari itu, tanpa pernah
menyangka bahwa pada akhirnya perbekalan yang mereka bawa akan menjadi barang
bukti kepolisian. Mereka sama-sama hanya bisa diam, sementara barang-barang
yang mereka bawa bercerita pada polisi dan dokter pemeriksa.
Jadi, apa yang kalian bawa sebagai perbekalan kalian hari ini?
No comments:
Post a Comment