Monday 4 May 2020

Identifikasi Properti


Salah satu bagian paling berat dari pekerjaanku sebagai dokter spesialis forensik adalah mengidentifikasi properti. Kalau aku hanya menangani tubuh korban, aku hanya mengenal korban sebagai laki-laki atau perempuan, berusia antara sekian hingga sekian tahun, dengan sejumlah tanda kekerasan di tubuhnya dan diperkirakan meninggal sekian jam sebelum pemeriksaan. Namun, memeriksa properti membuatku merasa lebih mengenal korban yang kutangani secara lebih personal. Dan itu jauh lebih berat ketimbang memeriksa tubuh korban.

Sebagai contoh, aku pernah menangani kasus kecelakaan besar di Jakarta. Kecelakaan yang memakan cukup banyak korban sehingga ditetapkan menjadi ‘tragedi’ oleh media massa. Aku kebagian mengidentifikasi properti. Kepolisian menyerahkan dua kantong besar berisi beberapa tas yang diduga merupakan milik korban. Aku memeriksa sebuah ransel kanvas warna merah muda dan ransel itu bercerita banyak padaku.

Ransel itu milik seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebuah map berisi proposal penelitian penuh coretan dari dosen menandakan ia baru saja mulai mengerjakan tugas akhir. Ada sebuah dompet berisi uang dan foto dirinya berangkulan dengan seorang laki-laki muda. Gambar hati di sekeliling foto itu menunjukkan laki-laki itu adalah sumber semangat utamanya. Ada inisial nama mereka berdua di dalam gambar hati merah jambu. Laki-laki itu berinisial F.

Hatiku terasa pilu. Terlebih ketika tiba-tiba saja terdengar bunyi dering ponsel dari salah satu saku tas ransel itu. Ponsel gadis itu masih hidup dan nama ‘F – Sayangku’ berkedip memanggil. Aku menunggu sampai ponsel itu selesai berdering. Rupanya sudah ada belasan panggilan tak terjawab. Ada juga tampilan isi pesan yang masuk dari aplikasi WhatsApp. Nomor tadi mengirimkan banyak sekali pesan. Sayang kamu dimana?? Sayang?? Angkat teleponku!! Nadanya sangat mendesak.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya laki-laki itu jika mengetahui kekasihnya saat ini sudah terbujur kaku di salah satu meja pemeriksaan forensik.

Kubayangkan laki-laki malang itu terus mencoba menghubungi kekasihnya dengan panik setelah mendengar insiden kecelakaan itu. Mungkin mereka sempat bertemu sebelumnya, berbagai kebahagiaan atau mungkin malah bertengkar sebagaimana pasangan pada umumnya. Setelah berpisah, mereka sama sekali tidak mengira kalau itu kali terakhir mereka bisa bertemu. Masih banyak kata-kata yang belum tersampaikan satu sama lain. Masih banyak rencana yang belum terealisasikan. Namun, semua sudah harus berakhir sampai di sini.

Pada kesempatan lain aku mendapat kasus seorang laki-laki yang jatuh ke jurang saat sedang mendaki gunung. Ia ditemukan dua puluh empat jam setelah dilaporkan hilang. Menurut keterangan saksi, sebelumnya laki-laki itu menyusuri pegunungan dengan ditemani oleh pemandu wisata. Namun kemudian laki-laki itu berkata ingin memotret sesuatu. Pemandu wisata laki-laki itu menunggu cukup lama sebelum memutuskan menyusul. Laki-laki itu tidak membalas panggilannya. Pemandu wisata kemudian segera menelpon tim SAR.

Laki-laki itu dibawa ke forensik dengan luka yang cukup parah di bagian kaki dan kepala. Ia mengenakan jaket bertudung bahan parasut motif loreng. Sebuah tas pinggang masih menempel di tubuhnya. Tas pinggang berukuran sedang itu berisi dompet, kacamata hitam, kotak rokok, kunci penginapan dan ponsel yang sudah mati. Laki-laki malang itu sedang berlibur seorang diri. Ia adalah seorang pegawai perusahaan swasta di Kota Kembang. Menurut keterangan beberapa staff hotel, laki-laki itu mereupakan salah seorang langganan setia di hotel tersebut. Ia rutin datang dua bulan sekali.

Aku mendapatkan cerita lebih lengkap dari kamera digital yang ada di dalam tas laki-laki itu. Ada foto dirinya bersama seorang perempuan di stasiun kereta api, foto-foto yang diambil dari jendela kereta, foto penginapan dan pemandangan. Foto-foto terakhir menunjukkan apa yang ia lihat di detik terakhir hidupnya. Ia memotret jalan yang ia lewati dengan harapan jika ia tersesat maka ia bisa menemukan jalan pulang dari foto-foto di kameranya. Di foto terakhir ia berniat hendak memotret puncak pepohonan pinus yang sedang dinaungi kabut. Sepertinya ia mengambil foto itu dari bibir jurang. Ia terlalu asyik mengambil foto sehingga tidak sadar ia berdiri terlalu dekat dengan bibir jurang dan terperosok.

Perempuan yang kulihat di foto itu saat itu hanya bisa duduk terpekur di kursi tunggu keluarga korban. Ia tidak menyangka mengantar kekasihnya berangkat ke stastiun dan melambaikan tangan selamat tinggal, kata-kata ‘sampai berjumpa kembali’ hanya tinggal kata-kata. Ia tidak bisa lagi bertemu dengan kekasihnya.

Itulah sulitnya melakukan identifikasi properti. Kita seolah mengenal korban yang kita periksa secara lebih personal. Tidak ada bedanya antara kasus besar yang seolah membuat dunia diam sejenak mengheningkan cipta dan kasus yang bahkan tidak masuk media elektronik. Tidak ada beda antara tragedi dan ‘bagian dari statistik’. Semuanya sama. Mereka sama-sama mengepak barang untuk menjalani hari mereka pada hari itu, tanpa pernah menyangka bahwa pada akhirnya perbekalan yang mereka bawa akan menjadi barang bukti kepolisian. Mereka sama-sama hanya bisa diam, sementara barang-barang yang mereka bawa bercerita pada polisi dan dokter pemeriksa.


Jadi, apa yang kalian bawa sebagai perbekalan kalian hari ini?

No comments:

Post a Comment

Ambis

  Just yesterday another hullabaloo happened in twitter (surprise, surprise). This time it was about an infamous stand-up comedian slash inf...