Aku pernah membaca buku ‘The
Perks of Being a Wallflower’ karangan Stephen Chbosky. Di buku itu ada adegan
dimana Charlie - si tokoh utama – berkendara bersama teman-temannya. Ketika
mereka melewati terowongan di malam hari, Charlie mendeskripsikan apa yang ia
rasakan sebagai ‘infinite – tak terbatas’. Ia merasa hidup. Ia melihat cahaya
lampu gedung di malam hari, mendengarkan lagu dan ia berkendara dengan orang
yang sangat ia sayangi. Ia merasa tidak terbatas. Infinite.
Adegan serupa hampir selalu
kulihat di akhir tahun ajaran. Tepatnya, setelah pengumuman hasil ujian akhir. Banyak
pelajar yang berkonvoi berkeliling kota, berteriak-teriak lepas, mencorat-coret
baju seragam mereka dan lain-lain. Mereka begitu larut dalam euforia. Mereka merasa
sudah bebas dari beban yang menghimpit. Aku pernah berada di posisi mereka. Tahun
akhir sekolah biasanya menjadi tahun penuh tekanan. Guru dan orang tua tak
bosan-bosan mengingatkan pentingnya ujian akhir dan ujian masuk universitas. Mau
menonton konser? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian. Mau bermain game? Tidak. Nanti,
tunggu selesai ujian. Mau membeli novel? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian.
Tidak heran begitu ujian akhir
selesai, kami merasa seperti kuda lepas pingitan. Kami merasa layak merayakan
kegembiraan mereka sebebas-bebasnya, setelah ‘dikurung’ sekian lama. Tidak ada
lagi alasan untuk menahan mereka bersenang-senang. Kami merasa tidak terbatas. Infinite.
Orang tua dan guru seringkali kewalahan. Berbagai aturan dikeluarkan dan
beberapa sekolah malah mengeluarkan ancaman akan menahan ijazah bila ada anak
murid mereka yang bertindak kelewat batas saat kelulusan.
Aku tidak mau menjadi ‘senior / orang tua’ yang
penggerutu dan suka meremehkan anak-anak sekolah dengan berkata : mereka tidak
tahu beban macam apa yang menanti mereka setelah ini! Lihat saja, dunia kuliah
/ kerja itu sangat keras! Kalau mereka tahu, mereka tidak akan bertingkah begitu!
Biarlah mereka bersenang-senang, lalu nanti mulai berjuang lagi selangkah demi
selangkah. Mereka berhak merayakan pencapaian mereka. Hanya saja, tetap harus
tahu batas. Jangan berlebihan. Kenapa? Karena kadang orang yang larut dalam euforia
sering lupa diri. Mereka melakukan hal yang melanggar hukum dan akhirnya harus
berurusan dengan kepolisian.
Lebih buruk lagi, mereka
membahayakan nyawa mereka sendiri dan orang lain.
Suatu kali, pernah ada kasus
kecelakan dimana sebuah mobil sedan sampai ringsek terlindas truk. Pengemudi berikut
penumpang mobil sedan tersebut tidak ada yang selamat. Pihak kepolisian perlu
waktu hampir dua jam untuk mengevakuasi para korban. Kondisi korban sudah tidak
bisa dikenali lagi sehingga setelah melakukan pemeriksaan, para korban perlu direkonstruksi
sebelum dimasukkan ke dalam peti yang tertutup.
Berat sekali ketika dokter harus
menyampaikan ke keluarga korban kalau sebaiknya mereka tidak melihat korban.
Korban sudah tidak lagi bisa dikenali secara visual. Melihat korban bisa menimbulkan
trauma mendalam bagi keluarga korban. Biarlah mereka mengenang anggota keluarga
mereka saat masih sehat saja. Sekali ini, orang tua korban pingsan saat aku
baru mengatakan korban sudah tidak lagi bisa dikenali secara visual. Mereka
tahu seperti apa keadaan anak-anak mereka.
Usia anak-anak mereka masih
belasan tahun, walau sudah mencapai usia yang legal untuk mendapatkan Surat
Izin Mengemudi. Kubayangkan kedua orang tua korban melepas anak-anak mereka
untuk pergi nongkrong dengan teman-teman mereka, lalu dini hari terbangun oleh
telepon dari kepolisian yang meminta mereka untuk datang ke instalasi forensik.
Perlu waktu untuk menyembuhkan trauma dan berhenti menyalahkan diri mereka
sendiri.
Hasil uji alkohol dalam darah
semua korban didapatkan positif, dengan kadar yang cukup untuk membuat
peminumnya merasa mengantuk sekaligus terganggu daya pikirnya. Beberapa saksi
yaitu teman-teman korban yang bertemu korban sebelum kejadian mengatakan para
korban sempat ‘berpesta’ di sebuah klab malam. Mungkin mereka berpikir mereka
cukup ‘sadar’ untuk berkendara, jalanan dini hari pasti sepi, mereka masih muda
dan sebagainya. Euforia membuat mereka merasa tak terbatas. Infinite.
Sayangnya, tidak seperti itu cara
dunia bekerja. Perasaan bahwa hidup di dunia ini ‘tidak terbatas’ hanyalah ilusi. Aku tidak
mengatakan bahagia itu suatu hal yang buruk, tapi seperti yang aku bilang
tadi : segala sesuatu yang berlebihan itu lebih banyak mendatangkan kerugian. Seseorang
bisa saja sedang tersenyum dan tertawa, lalu kemudian kehilangan nyawanya dalam
hitungan sepersekian detik. Hidup ini sangat rapuh. Mengutip pepatah Jawa : urip
mung mampir ngombe. Hidup itu seperti orang yang mampir untuk minum
sejenak.
Dan menurutku, tahu cara membatasi diri kita sendiri merupakan salah satu cara yang baik jika kita ingin selamat dalam hidup.
No comments:
Post a Comment