Sunday 3 May 2020

(Tidak) Terbatas


Aku pernah membaca buku ‘The Perks of Being a Wallflower’ karangan Stephen Chbosky. Di buku itu ada adegan dimana Charlie - si tokoh utama – berkendara bersama teman-temannya. Ketika mereka melewati terowongan di malam hari, Charlie mendeskripsikan apa yang ia rasakan sebagai ‘infinite – tak terbatas’. Ia merasa hidup. Ia melihat cahaya lampu gedung di malam hari, mendengarkan lagu dan ia berkendara dengan orang yang sangat ia sayangi. Ia merasa tidak terbatas. Infinite.

Adegan serupa hampir selalu kulihat di akhir tahun ajaran. Tepatnya, setelah pengumuman hasil ujian akhir. Banyak pelajar yang berkonvoi berkeliling kota, berteriak-teriak lepas, mencorat-coret baju seragam mereka dan lain-lain. Mereka begitu larut dalam euforia. Mereka merasa sudah bebas dari beban yang menghimpit. Aku pernah berada di posisi mereka. Tahun akhir sekolah biasanya menjadi tahun penuh tekanan. Guru dan orang tua tak bosan-bosan mengingatkan pentingnya ujian akhir dan ujian masuk universitas. Mau menonton konser? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian. Mau bermain game? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian. Mau membeli novel? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian.

Tidak heran begitu ujian akhir selesai, kami merasa seperti kuda lepas pingitan. Kami merasa layak merayakan kegembiraan mereka sebebas-bebasnya, setelah ‘dikurung’ sekian lama. Tidak ada lagi alasan untuk menahan mereka bersenang-senang. Kami merasa tidak terbatas. Infinite. Orang tua dan guru seringkali kewalahan. Berbagai aturan dikeluarkan dan beberapa sekolah malah mengeluarkan ancaman akan menahan ijazah bila ada anak murid mereka yang bertindak kelewat batas saat kelulusan.

Aku tidak mau menjadi ‘senior / orang tua’ yang penggerutu dan suka meremehkan anak-anak sekolah dengan berkata : mereka tidak tahu beban macam apa yang menanti mereka setelah ini! Lihat saja, dunia kuliah / kerja itu sangat keras! Kalau mereka tahu, mereka tidak akan bertingkah begitu! Biarlah mereka bersenang-senang, lalu nanti mulai berjuang lagi selangkah demi selangkah. Mereka berhak merayakan pencapaian mereka. Hanya saja, tetap harus tahu batas. Jangan berlebihan. Kenapa? Karena kadang orang yang larut dalam euforia sering lupa diri. Mereka melakukan hal yang melanggar hukum dan akhirnya harus berurusan dengan kepolisian.

Lebih buruk lagi, mereka membahayakan nyawa mereka sendiri dan orang lain.
Suatu kali, pernah ada kasus kecelakan dimana sebuah mobil sedan sampai ringsek terlindas truk. Pengemudi berikut penumpang mobil sedan tersebut tidak ada yang selamat. Pihak kepolisian perlu waktu hampir dua jam untuk mengevakuasi para korban. Kondisi korban sudah tidak bisa dikenali lagi sehingga setelah melakukan pemeriksaan, para korban perlu direkonstruksi sebelum dimasukkan ke dalam peti yang tertutup.

Berat sekali ketika dokter harus menyampaikan ke keluarga korban kalau sebaiknya mereka tidak melihat korban. Korban sudah tidak lagi bisa dikenali secara visual. Melihat korban bisa menimbulkan trauma mendalam bagi keluarga korban. Biarlah mereka mengenang anggota keluarga mereka saat masih sehat saja. Sekali ini, orang tua korban pingsan saat aku baru mengatakan korban sudah tidak lagi bisa dikenali secara visual. Mereka tahu seperti apa keadaan anak-anak mereka.

Usia anak-anak mereka masih belasan tahun, walau sudah mencapai usia yang legal untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi. Kubayangkan kedua orang tua korban melepas anak-anak mereka untuk pergi nongkrong dengan teman-teman mereka, lalu dini hari terbangun oleh telepon dari kepolisian yang meminta mereka untuk datang ke instalasi forensik. Perlu waktu untuk menyembuhkan trauma dan berhenti menyalahkan diri mereka sendiri.

Hasil uji alkohol dalam darah semua korban didapatkan positif, dengan kadar yang cukup untuk membuat peminumnya merasa mengantuk sekaligus terganggu daya pikirnya. Beberapa saksi yaitu teman-teman korban yang bertemu korban sebelum kejadian mengatakan para korban sempat ‘berpesta’ di sebuah klab malam. Mungkin mereka berpikir mereka cukup ‘sadar’ untuk berkendara, jalanan dini hari pasti sepi, mereka masih muda dan sebagainya. Euforia membuat mereka merasa tak terbatas. Infinite.

Sayangnya, tidak seperti itu cara dunia bekerja. Perasaan bahwa hidup di dunia ini ‘tidak terbatas’ hanyalah ilusi. Aku tidak mengatakan bahagia itu suatu hal yang buruk, tapi seperti yang aku bilang tadi : segala sesuatu yang berlebihan itu lebih banyak mendatangkan kerugian. Seseorang bisa saja sedang tersenyum dan tertawa, lalu kemudian kehilangan nyawanya dalam hitungan sepersekian detik. Hidup ini sangat rapuh. Mengutip pepatah Jawa : urip mung mampir ngombe. Hidup itu seperti orang yang mampir untuk minum sejenak.

Dan menurutku, tahu cara membatasi diri kita sendiri merupakan salah satu cara yang baik jika kita ingin selamat dalam hidup.

No comments:

Post a Comment

Ambis

  Just yesterday another hullabaloo happened in twitter (surprise, surprise). This time it was about an infamous stand-up comedian slash inf...