Saturday 8 August 2020

Snack

Waktu lagi booming-boomingnya snack dari Jepang, mulai dari minimarket, toko online dan jasa titip beli semuanya menawarkan camilan seperti Chocobi, potato stick dan lain-lain. Aku masih bekerja di Jakarta dan temanku adalah salah satu orang yang ikut kerajingan snack-snack semacam itu. Suatu kali, salah seorang petugas dari kedutaan yang sering ditugaskan ke bagian forensik untuk mengurus jenazah WNA berkata ia ditugaskan ke Jepang. Temanku langsung heboh minta dibawakan oleh-oleh Tokyo Banana. Begitu hebohnya sampai dia ngomong berkali-kali dan ketika akhirnya oleh-oleh itu datang, ia memfotonya dari berbagai sudut untuk kemudian diupload ke sosmed. 

Aku penasaran juga melihat dia segitu girangnya dapat Tokyo Banana. Bahkan ketika aku ingin nyicip karena penasaran, dia malah mencibir dan menyalahkanku kenapa tidak ikut titip. Aku kontan ilfil diperlakukan segitu alay-nya. Meskipun setelah itu dia berkata dia hanya bercanda dan menawariku sebuah, aku keburu ilfil duluan. Tapi akhirnya aku mengerti kenapa dia sampai kayak Smeagol mempertahankan cincinnya di Lord of The Ring. 

Saat ini harga sekotak cake rasa pisang itu cukup mahal, dan nggak bisa langsung didapat pula karena mayoritas toko online hanya menyediakan jasa titip beli. Pantesan dia heboh banget upload ke sosmed lengkap dengan tagar sampai lebih dari selusin. Pasti siapapun akan merasa sangat keren kalau dilihat orang sedang ngemil Tokyo Banana. Karena kadang terlepas dari bagaimana rasanya, yang penting adalah kita kelihatan keren saat mengunggah foto makanan tertentu. 

Dulu pernah ada video viral soal anak yang ketahuan pura-pura "mukbang" mie instan super-pedas dari Korea. Ada salah seorang penonton yang memperhatikan detail dari tekstur mie di video itu, yang ternyata adalah mie goreng lokal. Setelah dirundung warganet (ampun deh begitu aja diributkan) anak itu akhirnya melakukan klarifikasi, bahwa ia pura-pura karena ia tidak punya uang untuk membeli mie instan Korea itu. Ya, pada akhirnya memang ada yang berbaik hati membawakan anak itu mie aslinya ... tapi aku sempat heran juga, buat apa pura-pura? 

Soalnya aku udah pernah mencoba mie itu dan menurutku rasanya kurang cocok dengan seleraku. Setelah memasaknya sesuai instruksi tapi rasanya nggak sampai seheboh yang diceritakan di berbagai sosmed, aku jadi penasaran. Apa harus kumodif ya? Akhirnya aku mencoba membeli lagi dan memasaknya dengan cara lain. Kubuat nyemek dengan campuran telur (serasa makan bakmi jawa :P), kugoreng lagi sampai kering ... tapi tetap saja rasanya kurang cocok. It's just not my cup of tea. 

Mungkin mirip denganku yang lemah sama hampir semua jenis kue yang ada gula merahnya. Contohya Lupis, Klepon atau Kue Putu apalagi yang masih panas dan gulanya meleleh *glek!*, tapi menurut orang lain biasa aja. Atau kulit ayam atau buntut lele yang buat orang lain bisa jadi alasan perang kalau sampai direbut, tapi aku yang hampir setiap makan ayam pasti kulitnya kukasih ke suami atau lempeng aja pas ekor lele gorengku dipotek orang karena aku lebih suka kepalanya. 

Yeap, selera memang nggak bisa bohong. Nggak perlu memaksakan diri suka sesuatu demi imej. 

Oh ya, selang beberapa bulan setelah cerita Tokyo Banana itu, Ayah dan Ibuku ikut tur ke Jepang dan pulang membawa berbagai macam snack dari sana. Salah satunya Tokyo Banana. Memang enak sih rasanya. Cake-nya lembut dan krim pisangnya manisnya pas. Ya 6/10 lah nilainya (buatku).  


No comments:

Post a Comment

Ambis

  Just yesterday another hullabaloo happened in twitter (surprise, surprise). This time it was about an infamous stand-up comedian slash inf...