
Saturday, 22 August 2020
Berburu Pernak-pernik di Adele Babarsari

Tuesday, 18 August 2020
Bobba for lunch
Saturday, 8 August 2020
Snack
Waktu lagi booming-boomingnya snack dari Jepang, mulai dari minimarket, toko online dan jasa titip beli semuanya menawarkan camilan seperti Chocobi, potato stick dan lain-lain. Aku masih bekerja di Jakarta dan temanku adalah salah satu orang yang ikut kerajingan snack-snack semacam itu. Suatu kali, salah seorang petugas dari kedutaan yang sering ditugaskan ke bagian forensik untuk mengurus jenazah WNA berkata ia ditugaskan ke Jepang. Temanku langsung heboh minta dibawakan oleh-oleh Tokyo Banana. Begitu hebohnya sampai dia ngomong berkali-kali dan ketika akhirnya oleh-oleh itu datang, ia memfotonya dari berbagai sudut untuk kemudian diupload ke sosmed.
Aku penasaran juga melihat dia segitu girangnya dapat Tokyo Banana. Bahkan ketika aku ingin nyicip karena penasaran, dia malah mencibir dan menyalahkanku kenapa tidak ikut titip. Aku kontan ilfil diperlakukan segitu alay-nya. Meskipun setelah itu dia berkata dia hanya bercanda dan menawariku sebuah, aku keburu ilfil duluan. Tapi akhirnya aku mengerti kenapa dia sampai kayak Smeagol mempertahankan cincinnya di Lord of The Ring.
Saat ini harga sekotak cake rasa pisang itu cukup mahal, dan nggak bisa langsung didapat pula karena mayoritas toko online hanya menyediakan jasa titip beli. Pantesan dia heboh banget upload ke sosmed lengkap dengan tagar sampai lebih dari selusin. Pasti siapapun akan merasa sangat keren kalau dilihat orang sedang ngemil Tokyo Banana. Karena kadang terlepas dari bagaimana rasanya, yang penting adalah kita kelihatan keren saat mengunggah foto makanan tertentu.
Dulu pernah ada video viral soal anak yang ketahuan pura-pura "mukbang" mie instan super-pedas dari Korea. Ada salah seorang penonton yang memperhatikan detail dari tekstur mie di video itu, yang ternyata adalah mie goreng lokal. Setelah dirundung warganet (ampun deh begitu aja diributkan) anak itu akhirnya melakukan klarifikasi, bahwa ia pura-pura karena ia tidak punya uang untuk membeli mie instan Korea itu. Ya, pada akhirnya memang ada yang berbaik hati membawakan anak itu mie aslinya ... tapi aku sempat heran juga, buat apa pura-pura?
Soalnya aku udah pernah mencoba mie itu dan menurutku rasanya kurang cocok dengan seleraku. Setelah memasaknya sesuai instruksi tapi rasanya nggak sampai seheboh yang diceritakan di berbagai sosmed, aku jadi penasaran. Apa harus kumodif ya? Akhirnya aku mencoba membeli lagi dan memasaknya dengan cara lain. Kubuat nyemek dengan campuran telur (serasa makan bakmi jawa :P), kugoreng lagi sampai kering ... tapi tetap saja rasanya kurang cocok. It's just not my cup of tea.
Mungkin mirip denganku yang lemah sama hampir semua jenis kue yang ada gula merahnya. Contohya Lupis, Klepon atau Kue Putu apalagi yang masih panas dan gulanya meleleh *glek!*, tapi menurut orang lain biasa aja. Atau kulit ayam atau buntut lele yang buat orang lain bisa jadi alasan perang kalau sampai direbut, tapi aku yang hampir setiap makan ayam pasti kulitnya kukasih ke suami atau lempeng aja pas ekor lele gorengku dipotek orang karena aku lebih suka kepalanya.
Yeap, selera memang nggak bisa bohong. Nggak perlu memaksakan diri suka sesuatu demi imej.
Oh ya, selang beberapa bulan setelah cerita Tokyo Banana itu, Ayah dan Ibuku ikut tur ke Jepang dan pulang membawa berbagai macam snack dari sana. Salah satunya Tokyo Banana. Memang enak sih rasanya. Cake-nya lembut dan krim pisangnya manisnya pas. Ya 6/10 lah nilainya (buatku).
Sunday, 2 August 2020
Day ... of Twitter Detoxing

Wednesday, 15 July 2020
A Break From Twitter
It started with this article. The writer - Revina - told us how the 'our body our authority' also came with 'our responsibility'. She wrote a piece on how someone who had unprotected sex should be prepared with the consequences. At this case, the queen-mother of consequences (Indonesian version) : unwanted pregnancy. As we all know, Indonesia's health law prohibited abortion unless it was medical indication (emergency) or in rape case where it could cause trauma for the mother.
Revina talked about the consensual unprotected sexual intercourse and its consequences. Like it or not, as much as it's supposed to be both parts' responsibility, the law when it comes to unwanted pregnancy couldn't help the woman as much as it should be. There weren't any criminal law for the man, only civil law. As someone who works in the law field, Revina also described that even though civil law could somehow force the man to take responsibility, the process would be long and with high cost as to take DNA test, etc.
I had encountered enough of DNA paternity cases before. Most of them were unpleasant, especially if the result was far from what the family expect. I saw them cried. I faced insults. I got offered some bribery (as if there is enough money to switch the DNA structures of a baby, so NO!) and I got conclusion that : one should be prepared with the consequences when it comes to unprotected sex in Indonesia. In front of the law, the judge would see things as it is. A result of consensual unprotected sex would always put the woman in the wrong part - not to mention the stigma from the society.
So I agree with Revina when it comes to 'take responsibility'. If you don't want pregnancy, then make sure you're protected. Yes, one's body one's authority but don't forget the responsibility, please. Yes we all wish for fairness in law as well as society, but whether we like it or not ... the woman - who carried the child - would often forced to take the scarlet letter. So before the day the law changed, we should be careful.
Okay, Revina was a bit harsh when she said 'consensual unprotected sex = 'consent' to get the consequences', for the sex education was still not enough and fair throughout Indonesia due to 'taboo' and such ... but for those who know the consequences, sane and be able to give consent to consensual sex, they should prepare for the consequences. I agree with her in this.
However, some of my friends in twitter are strongly disagree with her. It's okay, we all have our own opinion, but I hate the way they tried to bash her by bringing up her old mistakes, twisting her words, quoting her article and said 'look at her, she's agaisnt woman's right' even though she clearly said she is more than willing to help woman with unwanted pregnancy. They twist the article as if Revina talked about unconsensual sex (rape, statutory, etc). I tried to speak up my mind, trying to tell them : yes, her words are strong but the message she tried to give is got the point.
One of them told me : go read this tweet about consent. Yes, thank you. I read that. Yes, I perfectly understand that if one gives consent but changes one's mind, the other must not force themselves and respect that. But not all people understand that and it would be hard when they tried to take it to court. The fact that "I do agree to do sexual intercourse but I changed my mind later, but I was forced to do so" would seldom be accepted in court.
Yes it is unfair. Yes we all want it to change. As someone who deal with this kind of case, I want justice to be served. The bitter truth is, the chance is pretty rare that the judge would accept such testimony. They would think "She's making that up / if she didn't agree she should be from the start / and another accusation"
That's what she tried to say. Until that day come, let's all be careful and use our authority on our body wisely - aware with the consequences and all. Unfortunately some people are too emotional to see it. And plenty of them use dirty ways to force her to say "I take it back.". Old 'digital trace', even body-shaming ... the things most of the 'open minded people' was usually refused to do so. Turned out we all will use double standard eventually.
Soo ... I decided to take a break. I'm gonna alter my socmed to play UNO or read WattPad. It's better for my mind at the moment.
Ps. Deepest condolences for Naya Rivera's family and friends. I just heard the news this morning. May you rest in peace, Naya ... and may God give strength to everyone close to you.
Wednesday, 20 May 2020
Lovely
Saturday, 9 May 2020
Diary Anonim - Cerpen
Miris sekali hatiku mendengarnya ... dia anak perempuan yang masih berusia13 tahun ... aku ingat betapa insecure-nya aku dulu ketika seusianya. Apalagi pelakunya berusia 18 tahun, lebih tua, lebih dipercaya oleh gadis itu ... apa yang ada di pikiran laki-laki itu ketika melayangkan tinjunya?
"Kamu itu terlalu sabar, Kay." kata Sandy, salah seorang teman jagaku. "Apalagi menghadapi kasus semacam itu. Aku sudah hilang sabar tadi, dikira kerjaan kita hanya dia apa?!"
"Ya namanya juga kasus pemukulan. Apalagi pelakunya pacar sendiri, wajarlah kalau dia shock dan masih denial ... selama ini dia sayang sama pacarnya, percaya sama dia ... pasti dia mikir lah, apa jangan-jangan dia yang salah.", kataku sambil berjalan di sebelah Sandy.
"What bullshit!!" maki Sandy. "Laki-laki yang memukul wanita itu bahkan kebagusan kalau dibilang "sampah masyarakat". By God ya, kalau sampai ada yang berani kayak gitu ke adikku atau ke orang terdekatku, aku akan membuat mereka merasakan hell on earth!"
"Ups, sabar, sabar Mas ... kita harus netral, remember? Tidak boleh memihak. Aku juga marah tadi, aku juga ingin pelakunya dihukum berat. Tapi itu sudah di luar kapasitas kita. Kita sudah melakukan apa yang kita bisa. Selebihnya, urusan penyidik ..." kataku.
Sandy menatapku, lalu nyengir. "Kamu memang calon dokter forensik yang baik."
Aku terbahak. "Amin!"
Kami sampai di ruang post mortem. Desta sedang memeriksa barang-barang si 'pasien' sementara Cathy mencatat deskripsinya. "Nah syukurlah elo berdua dateng. Kay elo gantiin gue ya, Sandy elo bantu Cathy memeriksa pasiennya."
"Oke. Sip!"
Aku mengenakan sarung tangan dan mulai memeriksa barang-barang yang ada di samping si korban. "Meninggalnya kenapa?" tanyaku.
"Gak tau. Ditemukan di jalan. Belum ada keluarga yang bisa dihubungi." jawab Desta.
"Oh." aku melihat benda-benda yang ada. Sebuah handphone, seplastik uang dan sebuah buku notes kecil bersampul merah. Aku meraih buku itu, karena benda itu yang pertama kali menarik perhatianku. Tanganku hendak membuka halaman pertama buku itu, berharap di dalam buku itu ada nomor telfon keluarga si korban. Tapi kemudian aku teringat. AKu menoleh ke si korban ... seorang pria berusia dua puluhan yang tubuhnya kurus, mengenakan kaus hitam bertuliskan kata makian kasar, jins sobek-sobek dan sandal jepit.
"Bapak, maaf saya lihat bukunya ya. Siapa tahu ada nomer telfon yang bisa saya hubungi.", ujarku.
"Iya, Mbak'e ... buka aja!" Desta menyahut iseng. Aku nyengir.
Halaman pertama buku itu berisi lirik lagu. 'Jujur Saja' by Wonderboy ... begitu tulisannya. Ada huruf-huruf yang ditulis dengan huruf kapital, pertanda itulah bagian yang ditekankan si penulis.
JUJUR SAJA KAU ANGGAP AKU APA?
MENGAPA KAU TAK BERTERUS TERANG?
JUJUR SAJA KU RAGUKAN CINTAMU
KARENA DIRIMU TAK SEPERTI DULU
Di bawah lirik lagu itu ada tulisan : Jujur saja, kau anggap aku apa??
Dheg. Lagi-lagi aku merasa miris. Jika benar si korban (Ia masih dinamakan Mr.X, karena tidak ditemukan KTP atau tanda pengenal lain) yang menulisnya ... saat menulis ini ia pasti sedang galau luar biasa karena merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian. Aku membuka halaman berikutnya, mencoba fokus pada menemukan nomer telfon yang bisa dihubungi, tapi lagi-lagi perhatianku teralihkan pada sketsa wajah seorang perempuan berambut keriting panjang seperti ilustrasi novel-novel roman zaman dulu, di bawahnya tertulis : I love you Kirana ...
Di halaman lain ada catatan kecil. Hari ini ada satu kebahagiaan kecil yang kamu berikan untukku, yaitu kamu membalas sms-ku. Memang singkat, tapi aku tidak berharap banyak kok. Aku tahu kamu sibuk. Aku cukup senang kamu mau membalas sms-ku.
Aku membalik lagi halamannya. Aku akan tetap menunggu kamu, mencintai kamu ... walau aku tahu kamu tidak perduli sama aku.
Kirana,
satu nama itu selalu terpatri di hatiku
Kirana,
nama yang sempurna, sesempurna keindahanmu
Kirana,
nama yang menjadi pengganti doaku
setiap fajar membuka hari
Kirana,
ditengah malam beku ini,
namamu bagaikan lilin kecil yang hangatkan hatiku
Kirana,
aku percaya suatu saat nanti
kau akan pecaya betapa aku mencintaimu
Kirana,
biarlah kukecap pahit dan hujaman nyeri ini
karena aku yakin, akulah tempatmu pulang
Lalu ada lagi tulisan yang agak cakar ayam, menandakan penulisnya sedang dilanda emosi. Kamu jahat. Kamu hancurkan hatiku. Aku tulus sayang sama kamu, melebihi cinta tunangan kamu itu. Tunangan kamu enggak perduli sama kamu. Dia sering membuat kamu menangis kan? Buka hati kamu, Kirana. Buka sedikit untuk aku. Kenapa kamu tidak pernah menganggap aku ada? Lihat aku di sini, aku tulus mencintai kamu.
Kamu bilang kamu sayang aku. Tiga kata itu kamu ucapkan pagi ini ketika aku tanya bagaimana perasaan kamu ke aku. Dengan gampangnya aku luluh ... ah Kirana, aku memang selalu lemah kalau menyangkut kamu.
Kirana, malam ini aku sakit lagi. Mungkin besok aku sudah tidak bernyawa. Aku menulis ini dengan sisa-sisa tenaga terakhir aku. Kirana, Kirana ... kamu di mana? Aku mau melihat kamu, sekali saja sebelum aku mati. Aku mencintai kamu, Kirana ....
"Kay! Kok sampe terpesona gitu sih?" Cathy menepuk bahuku, ia melongok ke buku notes yang masih kubaca. "Ya ampunnn ... lebay sekali!" komentarnya.
"Bapaknya masih bisa denger kata-kata kamu lho!" ujarku.
"Ups! Maaf ya Pak ..." kata Cathy. "Tapi kamu yang fokus dong Kay ... kamu kan mau nyari nomer telfon yang bisa dihubungi, remember?"
"Iya, iya ... sori ..." aku membalik-balik halaman buku itu, mengabaikan tulisan demi tulisan yang melafalkan satu nama : Kirana. Lalu akhirnya aku menemukan beberapa nomer HP, salah satunya adalah nomer HP Kirana. Setelah mendeskripsikan barang-barang korban, aku meminta ijin sejenak menyerahkan buku itu ke petugas administrasi untuk menghubungi nomor telfon itu.
Pemeriksaan luar selesai, dan kami beristirahat di ruang jaga.
Aku memutuskan untuk tidur sejenak, karena tidak tahu apa yang akan datang nanti malam. Kupejamkan mata dan berusaha tidur. Aku teringat dua kasus yang aku hadapi hari ini ... yang satu dikhianati kepercayaannya oleh orang yang ia cintai, yang satu setengah mati mencintai (atau bisa dikatakan ... terobsesi?) ... tanpa bisa kucegah, imajinasiku melayang membayangkan apa jadinya kalau hidup mereka berdua adalah sebuah film romantic comedy.
Si gadis bertemu dengan si Mr.X ... mungkin saat ia berlari menghindari kejaran pacarnya yang mau memukulinya? Mr.X menghajar pacar si gadis dengan maksud melindungi, kemudian mereka berkenalan, kemudian mereka saling curhat, kemudian mereka jatuh cinta, kemudian mereka melupakan yang menyia-nyiakan mereka dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya? Kenapa tidak bisa seperti itu? Itu ending yang ideal bukan? Menurutku sih ...
Oh well ...lagi-lagi aku hanya bisa menemukan 'itulah hidup' - whatever that means - sebagai jawaban atas pertanyaanku. Semua orang ingin bahagia, ingin mencintai dan dicintai. Tapi dalam hidup, seringkali tidak bisa sesederhana itu. Haish ... memikirkannya saja sudah pusing. Lebih baik aku tidur dulu, mudah-mudahan nanti malam jagaku aman.
Aku tidak tahu kapan aku terlelap. Tahu-tahu saja aku merasa ada yang berdiri di depanku. Aku memicingkan mata, melihat sosok samar-samar yang kemudian semakin jelas. Seorang pria berambut emo, mengenakan baju hitam bertuliskan makian, jins sobek-sobek dan sandal jepit, tengah menatapku. Ini kan ... Mr.X yang tadi!! Seruku dalam hati, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ketika wajahnya semakin jelas, aku melihat sudut-sudut bibirnya terangkat sedikit dan ia mengangguk padaku, sebelum berjalan keluar kamar jaga.
"Kayla ..."
Ada suara laki-laki memanggil namaku. "Kayla? Kayla?" aku merasa ada yang mengguncang bahuku dan aku bangun gelagapan.
Desta nyengir melihatku. "Sori elo udah tidur yah? Barusan ada panggilan ke IGD, ada visum."
"Oh? Mmm ... okeh okeh, bentar ..."
Aku meraih HP yang tadi sedang di- charge, memastikan notesku ada di kantong baju jaga, sebelum mengikuti Desta dan teman-teman lain ke luar kamar jaga. Sepertinya, masih banyak cerita yang akan aku dengar malam ini ...
Ambis
Just yesterday another hullabaloo happened in twitter (surprise, surprise). This time it was about an infamous stand-up comedian slash inf...

-
Just yesterday another hullabaloo happened in twitter (surprise, surprise). This time it was about an infamous stand-up comedian slash inf...
-
Dulu waktu aku kecil & masih tinggal di Jakarta, aku dan teman-temanku suka banget berburu alat tulis lucu di Pasar Tebet. Ada satu toko...
-
Gorilla marijuana / gorilla 'tobaco' is one of the terms for synthetic marijuana sold in Indonesia. The news had shown a lot ...