Thursday, 7 May 2020

Rahasia

When Eleanor goes back in the house after seeing Park, Richie is crass and abusive, calling her "nothing but a bitch in heat." His degrading comments force her to think more deeply about her situation. Until now, she'd "kept Park in a place in her head" that "Richie couldn't get to." But now Richie is "pissing all over everything," and she can't think about Park without seeing Richie's leering face. 
Elanor & Park - Rainbow Rowell 

Simpan segala kenangan indah yang tersisa
Kembali ke dalam kotak memori
Jangan lupa kunci rapat-rapat
Dan jangan sampai ada yang tahu
Lalu mencari kesempatan untuk merusaknya

Wednesday, 6 May 2020

Puing

Sudah, diam sayang
Tidak ada gunanya menangis
Ini bukan cerita dongeng
Dan kamu bukan Alice di negeri dongeng

Lihat tetesan air hujan sayang?
Lihat hantaman ombak di bibir pantai?
Adakah mereka melambat
Untuk ikut mengheningkan cipta denganmu?

Semesta tidak pernah mau menunggu, sayang
Bukankah sering kukatakan padamu?

Tuesday, 5 May 2020

Luruh


“Memang cinta bisa ditakar? Kayaknya, cinta sih cuma cinta doang. Cinta nggak kenal besar apa kecil. Cinta cuma satu,  nggak perlu takaran. Takaran bisa bikin cinta jadi dua. Dua bikin permusuhan. Permusuhan bikin kelahi.” – Ca Bau Kan, Remy Sylado.

Hari ini aku kehabisan kata
Ketika kau ambruk bersimpuh di hadapanku
Dengan napas yang tinggal satu-satu
Serta jejak kaki berdarah di belakangmu

“Aku lelah”, berulangkali kau ucapkan mantra itu
Sambil membasuh dirimu
Dengan rambut panjangmu
Yang kau basahi dengan air matamu
Sekelam itu kini hati dan jiwamu

Setelah semesta membalikan tangan
Dan menghancurkan delusimu
Tentang sebuah utopia
Dimana dirimu menjadi poros
Dari segala yang ingin kamu miliki

Kau mengira gravitasimu
Juga kepiawaianmu membagi jiwa
Cukup untuk menjaga duniamu
Dalam suatu tatanan yang teratur
Dan kini semuanya luruh menjadi abu
Tidak ada lagi yang tersisia untukmu

Berhenti bicara, sayang
Ampuni jiwamu sendiri
Berhenti berlari, sayang
Diamlah
Agar sekali ini
Bisa kau dengar suara nuranimu

Monday, 4 May 2020

Identifikasi Properti


Salah satu bagian paling berat dari pekerjaanku sebagai dokter spesialis forensik adalah mengidentifikasi properti. Kalau aku hanya menangani tubuh korban, aku hanya mengenal korban sebagai laki-laki atau perempuan, berusia antara sekian hingga sekian tahun, dengan sejumlah tanda kekerasan di tubuhnya dan diperkirakan meninggal sekian jam sebelum pemeriksaan. Namun, memeriksa properti membuatku merasa lebih mengenal korban yang kutangani secara lebih personal. Dan itu jauh lebih berat ketimbang memeriksa tubuh korban.

Sebagai contoh, aku pernah menangani kasus kecelakaan besar di Jakarta. Kecelakaan yang memakan cukup banyak korban sehingga ditetapkan menjadi ‘tragedi’ oleh media massa. Aku kebagian mengidentifikasi properti. Kepolisian menyerahkan dua kantong besar berisi beberapa tas yang diduga merupakan milik korban. Aku memeriksa sebuah ransel kanvas warna merah muda dan ransel itu bercerita banyak padaku.

Ransel itu milik seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebuah map berisi proposal penelitian penuh coretan dari dosen menandakan ia baru saja mulai mengerjakan tugas akhir. Ada sebuah dompet berisi uang dan foto dirinya berangkulan dengan seorang laki-laki muda. Gambar hati di sekeliling foto itu menunjukkan laki-laki itu adalah sumber semangat utamanya. Ada inisial nama mereka berdua di dalam gambar hati merah jambu. Laki-laki itu berinisial F.

Hatiku terasa pilu. Terlebih ketika tiba-tiba saja terdengar bunyi dering ponsel dari salah satu saku tas ransel itu. Ponsel gadis itu masih hidup dan nama ‘F – Sayangku’ berkedip memanggil. Aku menunggu sampai ponsel itu selesai berdering. Rupanya sudah ada belasan panggilan tak terjawab. Ada juga tampilan isi pesan yang masuk dari aplikasi WhatsApp. Nomor tadi mengirimkan banyak sekali pesan. Sayang kamu dimana?? Sayang?? Angkat teleponku!! Nadanya sangat mendesak.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya laki-laki itu jika mengetahui kekasihnya saat ini sudah terbujur kaku di salah satu meja pemeriksaan forensik.

Kubayangkan laki-laki malang itu terus mencoba menghubungi kekasihnya dengan panik setelah mendengar insiden kecelakaan itu. Mungkin mereka sempat bertemu sebelumnya, berbagai kebahagiaan atau mungkin malah bertengkar sebagaimana pasangan pada umumnya. Setelah berpisah, mereka sama sekali tidak mengira kalau itu kali terakhir mereka bisa bertemu. Masih banyak kata-kata yang belum tersampaikan satu sama lain. Masih banyak rencana yang belum terealisasikan. Namun, semua sudah harus berakhir sampai di sini.

Pada kesempatan lain aku mendapat kasus seorang laki-laki yang jatuh ke jurang saat sedang mendaki gunung. Ia ditemukan dua puluh empat jam setelah dilaporkan hilang. Menurut keterangan saksi, sebelumnya laki-laki itu menyusuri pegunungan dengan ditemani oleh pemandu wisata. Namun kemudian laki-laki itu berkata ingin memotret sesuatu. Pemandu wisata laki-laki itu menunggu cukup lama sebelum memutuskan menyusul. Laki-laki itu tidak membalas panggilannya. Pemandu wisata kemudian segera menelpon tim SAR.

Laki-laki itu dibawa ke forensik dengan luka yang cukup parah di bagian kaki dan kepala. Ia mengenakan jaket bertudung bahan parasut motif loreng. Sebuah tas pinggang masih menempel di tubuhnya. Tas pinggang berukuran sedang itu berisi dompet, kacamata hitam, kotak rokok, kunci penginapan dan ponsel yang sudah mati. Laki-laki malang itu sedang berlibur seorang diri. Ia adalah seorang pegawai perusahaan swasta di Kota Kembang. Menurut keterangan beberapa staff hotel, laki-laki itu mereupakan salah seorang langganan setia di hotel tersebut. Ia rutin datang dua bulan sekali.

Aku mendapatkan cerita lebih lengkap dari kamera digital yang ada di dalam tas laki-laki itu. Ada foto dirinya bersama seorang perempuan di stasiun kereta api, foto-foto yang diambil dari jendela kereta, foto penginapan dan pemandangan. Foto-foto terakhir menunjukkan apa yang ia lihat di detik terakhir hidupnya. Ia memotret jalan yang ia lewati dengan harapan jika ia tersesat maka ia bisa menemukan jalan pulang dari foto-foto di kameranya. Di foto terakhir ia berniat hendak memotret puncak pepohonan pinus yang sedang dinaungi kabut. Sepertinya ia mengambil foto itu dari bibir jurang. Ia terlalu asyik mengambil foto sehingga tidak sadar ia berdiri terlalu dekat dengan bibir jurang dan terperosok.

Perempuan yang kulihat di foto itu saat itu hanya bisa duduk terpekur di kursi tunggu keluarga korban. Ia tidak menyangka mengantar kekasihnya berangkat ke stastiun dan melambaikan tangan selamat tinggal, kata-kata ‘sampai berjumpa kembali’ hanya tinggal kata-kata. Ia tidak bisa lagi bertemu dengan kekasihnya.

Itulah sulitnya melakukan identifikasi properti. Kita seolah mengenal korban yang kita periksa secara lebih personal. Tidak ada bedanya antara kasus besar yang seolah membuat dunia diam sejenak mengheningkan cipta dan kasus yang bahkan tidak masuk media elektronik. Tidak ada beda antara tragedi dan ‘bagian dari statistik’. Semuanya sama. Mereka sama-sama mengepak barang untuk menjalani hari mereka pada hari itu, tanpa pernah menyangka bahwa pada akhirnya perbekalan yang mereka bawa akan menjadi barang bukti kepolisian. Mereka sama-sama hanya bisa diam, sementara barang-barang yang mereka bawa bercerita pada polisi dan dokter pemeriksa.


Jadi, apa yang kalian bawa sebagai perbekalan kalian hari ini?

Sunday, 3 May 2020

(Tidak) Terbatas


Aku pernah membaca buku ‘The Perks of Being a Wallflower’ karangan Stephen Chbosky. Di buku itu ada adegan dimana Charlie - si tokoh utama – berkendara bersama teman-temannya. Ketika mereka melewati terowongan di malam hari, Charlie mendeskripsikan apa yang ia rasakan sebagai ‘infinite – tak terbatas’. Ia merasa hidup. Ia melihat cahaya lampu gedung di malam hari, mendengarkan lagu dan ia berkendara dengan orang yang sangat ia sayangi. Ia merasa tidak terbatas. Infinite.

Adegan serupa hampir selalu kulihat di akhir tahun ajaran. Tepatnya, setelah pengumuman hasil ujian akhir. Banyak pelajar yang berkonvoi berkeliling kota, berteriak-teriak lepas, mencorat-coret baju seragam mereka dan lain-lain. Mereka begitu larut dalam euforia. Mereka merasa sudah bebas dari beban yang menghimpit. Aku pernah berada di posisi mereka. Tahun akhir sekolah biasanya menjadi tahun penuh tekanan. Guru dan orang tua tak bosan-bosan mengingatkan pentingnya ujian akhir dan ujian masuk universitas. Mau menonton konser? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian. Mau bermain game? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian. Mau membeli novel? Tidak. Nanti, tunggu selesai ujian.

Tidak heran begitu ujian akhir selesai, kami merasa seperti kuda lepas pingitan. Kami merasa layak merayakan kegembiraan mereka sebebas-bebasnya, setelah ‘dikurung’ sekian lama. Tidak ada lagi alasan untuk menahan mereka bersenang-senang. Kami merasa tidak terbatas. Infinite. Orang tua dan guru seringkali kewalahan. Berbagai aturan dikeluarkan dan beberapa sekolah malah mengeluarkan ancaman akan menahan ijazah bila ada anak murid mereka yang bertindak kelewat batas saat kelulusan.

Aku tidak mau menjadi ‘senior / orang tua’ yang penggerutu dan suka meremehkan anak-anak sekolah dengan berkata : mereka tidak tahu beban macam apa yang menanti mereka setelah ini! Lihat saja, dunia kuliah / kerja itu sangat keras! Kalau mereka tahu, mereka tidak akan bertingkah begitu! Biarlah mereka bersenang-senang, lalu nanti mulai berjuang lagi selangkah demi selangkah. Mereka berhak merayakan pencapaian mereka. Hanya saja, tetap harus tahu batas. Jangan berlebihan. Kenapa? Karena kadang orang yang larut dalam euforia sering lupa diri. Mereka melakukan hal yang melanggar hukum dan akhirnya harus berurusan dengan kepolisian.

Lebih buruk lagi, mereka membahayakan nyawa mereka sendiri dan orang lain.
Suatu kali, pernah ada kasus kecelakan dimana sebuah mobil sedan sampai ringsek terlindas truk. Pengemudi berikut penumpang mobil sedan tersebut tidak ada yang selamat. Pihak kepolisian perlu waktu hampir dua jam untuk mengevakuasi para korban. Kondisi korban sudah tidak bisa dikenali lagi sehingga setelah melakukan pemeriksaan, para korban perlu direkonstruksi sebelum dimasukkan ke dalam peti yang tertutup.

Berat sekali ketika dokter harus menyampaikan ke keluarga korban kalau sebaiknya mereka tidak melihat korban. Korban sudah tidak lagi bisa dikenali secara visual. Melihat korban bisa menimbulkan trauma mendalam bagi keluarga korban. Biarlah mereka mengenang anggota keluarga mereka saat masih sehat saja. Sekali ini, orang tua korban pingsan saat aku baru mengatakan korban sudah tidak lagi bisa dikenali secara visual. Mereka tahu seperti apa keadaan anak-anak mereka.

Usia anak-anak mereka masih belasan tahun, walau sudah mencapai usia yang legal untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi. Kubayangkan kedua orang tua korban melepas anak-anak mereka untuk pergi nongkrong dengan teman-teman mereka, lalu dini hari terbangun oleh telepon dari kepolisian yang meminta mereka untuk datang ke instalasi forensik. Perlu waktu untuk menyembuhkan trauma dan berhenti menyalahkan diri mereka sendiri.

Hasil uji alkohol dalam darah semua korban didapatkan positif, dengan kadar yang cukup untuk membuat peminumnya merasa mengantuk sekaligus terganggu daya pikirnya. Beberapa saksi yaitu teman-teman korban yang bertemu korban sebelum kejadian mengatakan para korban sempat ‘berpesta’ di sebuah klab malam. Mungkin mereka berpikir mereka cukup ‘sadar’ untuk berkendara, jalanan dini hari pasti sepi, mereka masih muda dan sebagainya. Euforia membuat mereka merasa tak terbatas. Infinite.

Sayangnya, tidak seperti itu cara dunia bekerja. Perasaan bahwa hidup di dunia ini ‘tidak terbatas’ hanyalah ilusi. Aku tidak mengatakan bahagia itu suatu hal yang buruk, tapi seperti yang aku bilang tadi : segala sesuatu yang berlebihan itu lebih banyak mendatangkan kerugian. Seseorang bisa saja sedang tersenyum dan tertawa, lalu kemudian kehilangan nyawanya dalam hitungan sepersekian detik. Hidup ini sangat rapuh. Mengutip pepatah Jawa : urip mung mampir ngombe. Hidup itu seperti orang yang mampir untuk minum sejenak.

Dan menurutku, tahu cara membatasi diri kita sendiri merupakan salah satu cara yang baik jika kita ingin selamat dalam hidup.

Saturday, 2 May 2020

Time Out


Hari ini linimasa twitterku ramai dengan postingan (terduga?) penimbun masker yang sedang kelimpungan. Mereka yang dulu membeli berkarton-karton masker untuk kemudian dijual kembali dengan harga sepuluh hingga dua puluh kali lipat harga normalnya, sekarang beramai-ramai menjual rugi masker-masker tersebut karena beberapa swalayan sudah menjual masker dengan harga murah. Jujur saja sebagai tenaga medis, aku merasa gregetan. Ingin menyumpahi dan kalau bisa ikut memaki para penimbun masker tersebut.

Pasalnya, aku sempat kena imbas perbuatan mereka juga. Tidak hanya di rumah sakit tempatku bekerja yang memperketat peraturan menggunakan alat pelindung diri, tapi teman-temanku yang masih koas atau residen ‘terpaksa’ membeli masker dengan harga lima ratus ribu per kotaknya. Sudah begitu masih juga ada berita orang yang tega menipu! Mereka mengirimkan kardus berisi mie instan alih-alih masker dan membawa lari uang si pembeli. Sekarang setelah keadaan berbalik, tangan ini sudah gatal ingin ikut melontarkan makian. Kalau diibaratkan, kekesalanku yang menumpuk ini tidak lagi berupa batu kerikil tapi batu bata yang siap mengirim target pelemparan ke dokter bedah.

Syukurlah sekarang sedang bulan puasa (walaupun harusnya di luar bulan puasa juga sih) jadi aku ‘terpaksa’ diberi waktu untuk time out. Saat time out ini lah aku teringat sesuatu. Tepatnya, sebuah kasus yang aku tangani waktu aku masih menjadi seorang dokter jaga di sebuah PUSKESMAS 24 jam.

Ketika itu sekira pukul dua pagi, PUSKESMAS tempatku bekerja kedatangan pasien dua orang pelaku curanmor. Mereka berdua sama-sama babak belur.  Mereka terluka cukup parah di bagian kaki, karena ketika hendak melarikan diri dari kejaran massa mereka nekad memanjat kawat berduri sebelum jatuh dan salah satu dari mereka patah pergelangan kakinya. Aku dan rekan jagaku segera mempersiapkan tindakan penjahitan dan pembersihan luka. Saat sedang mempersiapkan alat-alat, rekan jagaku bergumam, “Obat bius ini terlalu berharga untuk orang semacam mereka.”

Tentu saja aku kaget. Temanku itu termasuk dokter favorit.. Aku pernah melihatnya menangani pasien anak sambil tersenyum sabar, padahal pasien anak itu sudah memukul, menendang dan meludahinya. Sekarang setelah didera rasa lelah dan keruwetan pikiran menghadapi pasien-pasien di IGD tiba-tiba saja kalimat semacam itu terlontar dari mulutnya.

Aku sontak menegur, “Hush, jangan bicara begitu! Tidak pantas kita sebagai dokter bicara begitu, terlepas pasiennya mendengar atau tidak.”

Dengan wajah jengkel temanku berkata, “Kamu tidak tahu seperti apa mereka waktu mencuri? Mereka tidak segan-segan mengancam bahkan melukai korban mereka, tahu! Aku pernah dipalak oleh orang semacam itu. Tidak hanya uang dan ponselku yang ludes, aku juga dipukuli! Sekarang mereka datang kemari dengan memelas-melas minta diobati. Huh!”

Ia kelihatan marah sekali. Kejadian entah berapa tahun lalu itu pasti sangat membekas di ingatannya. Aku mencoba menenangkannya dan mengingatkannya kalau orang yang dulu memalaknya bukan orang yang sama dengan orang yang akan kita tangani. Aku tidak memihak siapa-siapa, tapi membiarkan dua tersangka pelaku curanmor itu kesakitan tidak akan mengubah apa-apa. Kita tidak bisa bermain jadi hakim dan eksekutor sekaligus, lalu memberi hukuman dengan harapan memberi ‘efek jera’ bagi terpidana dan membuat orang lain takut melakukan tindak kejahatan karena tahu hukuman sadis apa yang akan mereka terima.

Tingkat kejahatan tidak lantas akan turun drastis. Malah akan melahirkan dendam baru. Para tersangka akan marah pada tenaga medis yang tidak menangani mereka dengan benar, lalu akan melampiaskan dendam mereka suatu saat nanti. Setelah kubujuk, akhirnya temanku bisa lebih tenang dan menyadari kekhilafannya. Syukurlah.

Setelah kami selesai menangani kedua orang itu, salah seorang dari mereka diamankan oleh polisi sementara yang lain harus dirujuk ke rumah sakit untuk dioperasi. Keduanya kami serahkan ke pihak yang berwenang, baik secara medis maupun hukum.

Kejadian itu yang menahanku untuk tidak ikut melakukan persekusi di sosial media, waluapun aku dongkol bukan main dengan para penimbun masker itu. Saat aku melihat ada yang meneruskan akun mereka ke pihak yang berwenang, aku rasa sudah cukup. Biarlah nanti pihak berwajib yang menanganinya. Syukur-syukur kalau para penimbun mau ‘membersihkan’ usaha mereka dengan mendonasikan alat-alat medis itu ke pusat pelayanan kesehatan atau ke orang yang membutuhkan. Terserah mereka. Aku tidak usah capek-capek berperan sebagai polisi, hakim dan eksekutor sekaligus.

Karena seringkali, diam dan menahan diri adalah langkah ‘menyerang’ yang terbaik.

Friday, 1 May 2020

Di Balik Layar


Bekerja di bidang MEDIS membuatku sedikit banyak tahu wajah asli sebuah kota. Seperti kota Jakarta. Mayoritas orang mengetahui kota Jakarta dari saluran televisi tau Youtube. Mereka melihat Jakarta sebagai montase tempat-tempat indah, dengan musik modern. Banyak yang membayangkan tempat-tempat indah serba mengkilap, makanan serbalezat, orang-orang berpenampilan keren dan kehidupan serbamudah. Jakarta adalah kota dengan sejuta kesempatan.

Salah satu dari sekian wajah Jakarta yang tidak bisa kulupakan adalah cerita tentang seorang selebritas muda yang ditemukan meninggal di indekosnya. Cerita ini kudapatkan dari seorang temanku yang bertugas di instalasi forensik rumah sakit di bilangan Jakarta Selatan. Selebritas muda itu ditemukan setelah kurang-lebih dua hari lamanya. Detik-detik terakhir hidupnya ia habiskan sendirian dalam kesakitan. Padahal jika kita melihat tayangan di media massa atau elektronik, kehidupan selebritas selalu dikelilingi banyak teman. Dalam sesi wawancara mereka selalu tampak penuh percaya diri, tertawa bersama teman-teman mereka di setiap acara.

Tidak ada yang tahu betapa tingginya stresor yang mereka hadapi. Mereka diwajibkan bekerja dua puluh empat jam sehari, malah kadang kurang. Selama dua puluh empat jam itu juga mereka harus sempurna dari segi penampilan maupun psikis. Tidak ada penggemar yang ingin melihat idolanya tampak murung, stres apalagi bersitegang dengan pasangan apapun alasannya. Para pembenci akan berpesta pora mempermalukan mereka dengan jejak-jejak digital yang tidak bisa hilang begitu saja.

Dulu aku pernah bekerja di sebuah klinik yang terletak di lantai dasar sebuah apartemen bilangan Jakarta Timur. Aku pernah mendapat pasien seorang perempuan muda, ia sangat cantik dengan penampilan yang terlihat sangat modis walau saat itu ia hanya mengenakan celana batik dan kaos belel. Ia meminta disuntik vitamin agar bisa segar. Ia bilang padaku kalau ia sudah tidak tidur dua hari. Ia meminta disuntik multivitamin agar tidak lelah.

Aku memperingatkan perempuan itu kalau multivitamin tidak bekerja seperti bayam saat dimakan oleh Popeye. Ia sudah kelelahan. Ia perlu istirahat. Rasa lelahnya itu adalah cara tubuhnya berteriak : hei, sudah cukup! Seperti mobil yang dipaksa untuk maju walau sudah babak belur, suatu saat mobil tersebut akan ambruk di jalan. Perempuan itu hanya tersenyum miris. Ia berkata ia tidak punya waktu untuk beristirahat. Karirnya sedang bagus-bagusnya. Tidak mudah mencapai titik dimana ia berada sekarang, apalagi di Jakarta. Dimanapun perempuan itu berada, aku berharap ia dalam keadaan sehat dan bahagia.

Aku tidak tega membayangkan perempuan itu di posisi seorang selebritas papan atas yang pernah aku lihat saat acara live. Ketika itu, rumah sakit tempatku bekerja mendapat tawaran sebagai penonton. Entah kenapa aku mendapat tempat duduk di deret belakang, dimana ketika aku melongokkan kepalaku ke belakang tempat duduk aku bisa melihat sebagian kecil belakang panggung. Saat itu aku melihat seorang perempuan berwajah ayu duduk di sebuah kursi plastik dengan wajah pucat pasi. Matanya terpejam dengan wajah mengerut seolah menahan sakit. Ia lelah. Kami sempat beradu pandang dan ia buru-buru memperbaiki posisi tubuhnya sebelum tergesa-gesa pergi. Mungkin ia takut aku akan diam-diam memotretnya atau apa.

Padahal, siapa yang sampai hati berbuat demikian? Waktu aku kecil aku pernah menangis melihat seekor gajah yang dipukuli hingga menjerit kesakitan saat sedang dilatih untuk bermain sirkus. Entah tongkat apa yang digunakan oleh pelatih sadis itu, tapi yang jelas kulit tebal si gajah sampai robek dan darah segar mengalir di punggungnya. Gajah itu akhirnya hanya bisa berdiri dengan kaki terantai dengan mata yang menatap kosong. Apa ada yang sampai hati memotret gajah itu lalu menyebarluaskannya di media sosial dengan niat untuk menjadikannya bahan tertawaan? 

Aku hanya ingin bercerita sedikit mengenai secuil sisi lain kota metropolitan yang aku tahu. Aku tidak ingin meromantisasi masa pageblug ini sebagai masa ‘pemulihan diri’ atau apa. Sudah banyak contoh orang yang tergilas imbasnya, salah satunya aku sendiri. Walau demikian, aku berharap suatu saat kota dunia - kota metropolitan, dunia glamor, akademik dan lainnya - mau memelankan sedikit ritme hidupnya dan memberi ruang bernapas bagi mereka yang bernaung. Itu saja.

Ambis

  Just yesterday another hullabaloo happened in twitter (surprise, surprise). This time it was about an infamous stand-up comedian slash inf...